Day by Day [Pt. 1]

374 20 2
                                    

💌

Terdapat tujuan khusus mengapa Joy melepaskan mimpinya menjadi guru sekolah dasar lantas memilih untuk meraih kesuksesan di bidang bisnis. Setelah Ia sendiri merasakan bagaimana rasanya ditelantarkan oleh sosok yang melahirkannya, Ia mulai sadar bahwa berubah menjadi figur dengan segudang uang ditangan, akan setidaknya sedikit lebih bermanfaat.

Meski ada segelintir penyesalan sebab mengambil jalan nan jauh berbeda dari rencana masa kecilnya, namun sisa perasaan masih tetap didominasi oleh syukur serta bahagia karena kini, tanpa media atau siapapun ketahui, dirinya tengah menuju ke tahun kelimanya sebagai pendonasi rutin suatu panti asuhan yang hampir setengahnya diisi oleh anak terdiagnosa kanker.

Kecemasan Joy bila nantinya ketahuan media ketika mengantarkan satu persatu dari mereka untuk melakukan kemoterapi pun berangsur berkurang sebab sepertinya banyak orang tidak terlalu mempercayai ideologi yang mengatakan bahwa manusia kaya raya bisa berpenampilan biasa.

Joy diam-diam berterimakasih pada hoodie abu-abu atau hijau gelapnya, juga kaus polos warna putih dilengkapi masker hitam nan kerap Ia kenakan, sebab mereka merupakan pihak kedua yang sungguh melindungi dirinya dari paparazi setelah orang tua dan sahabatnya, Wendy.

Joy sudah bagaikan ibu bagi 93 anak dalam bangunan bergapura 'Rumah Pelangi' di pinggir kota.

Dan Joy sendiri sadar, meskipun Ia sudah merawat mereka dengan sabar dan sepenuh hati seakan Ia tengah menjaga anak kandungnya, pasti ada suatu saat dimana satu demi satu pergi meninggalkan rumah hunian itu dan bergabung bersama keluarga nan telah mengharapkan kehadiran mereka.

Dilain konteks, Joy tetap tidak pernah ikut campur dalam proses adopsi di panti. Ia pikir, meskipun Ia sudah seperti kran dana disana, Ia tetap memiliki batasan sehingga Ia selalu menekankan bahwa satu-satunya yang paling tahu mana keluarga terbaik bagi anak-anaknya ialah sang ibu panti sendiri.

Barangkali itu pula yang menjadikannya sedikit terkejut ketika seorang anak 7 tahun meneriakkan nama samarannya, di dalam sebuah rumah sakit megah tempat Ia mendaftarkan anak-anak kankernya untuk melakukan kemo.

"Oh? Bibi Itik!!!"

Bersama dengan putaran tubuh jangkungnya menuju sumber suara, makhluk mungil setinggi lututnya tahu-tahu menabrak kakinya lantas melingkarkan tangan pendeknya ke sekitar pahanya.

"Oh? Kim Eunha? Apa yang kau lakukan disini?"

Joy benci bagaimana Ia —sekeras mungkin— menyangkal bila Ia sudah tak lagi mempunyai hak untuk mengkhawatirkan salah satu sosok mungil nan telah memiliki keluarganya sendiri, nyatanya masih terdapat secuil keresahan nan tahu-tahu menyerang relungnya di detik Ia menyadari bahwa anak yang Ia panggil dengan Eunha itu tengah mengenakan gaun pasien.

Tentu Joy ingat jelas bahwa Eunha adalah satu dari sekian banyak anak yang tergolong sehat total dan selalu energik.

Dia bukanlah anak yang setiap dua kali sebulan harus pergi ke rumah sakit untuk mendapatkan jarum suntik ditusukkan ke punggung tangan, lalu menunggu beberapa jam supaya obat sepenuhnya masuk ke sistem tubuhnya.

Namun sepertinya semesta cukup peka dengan raut khawatir Joy sehingga alih-alih menerima jawaban nan tak diinginkan, Joy justru tersenyum simpul kala mendapati Eunha mengerucutkan bibirnya seperti balita yang permennya direbut.

"Eunha hanya demam tapi mommy memaksa supaya Eunha dirawat di rumah sakit sampai sembuh. Menyebalkan."

Joy merupakan perempuan dengan banyak ilmu tersimpan rapi di rak dalam kepalanya dan itu pula yang menjelaskan mengapa Ia langsung dapat menyimpulkan di otaknya bahwa Eunha sempat terserang demam berdarah, hanya dengan melihat bekas infus nan terpampang nyata di punggung tangan putih si kecil.

JoyReneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang