Red Velvet : I'm Back. We're Back

355 32 1
                                    

Lumayan lama aku nggak update ini. Tengah malem mulai nulis gegara bayangan off cameranya Joyrene apalagi Irene comeback uwuu
So this is it. This is purely my Joyrene–off–camera imagination

Semuanya berjalan baik - baik saja.

Jauh lebih positif dari yang Irene sempat takutkan sejak awal.

Bebannya sebagai leader yang harus selalu siap menjadi penyokong anggota nan sudah Ia anggap keluarga sendiri, mulai terasa lebih ringan sejak Joy merubah alur menyiksa yang digariskan semesta.

Kegelisahan nan menyelimutinya tiap malam atas bayangan reaksi member pada ciumannya malam itu, ternyata justru berasal dari dirinya sendiri.

Bersama Joy yang Ia tahu sejak awal adalah anak nan memiliki persepsi berbeda dari sebayanya, memberikan kelegaan tersendiri.

Salah satu contohnya ialah ketika mata Irene hanya bisa terpusat pada deretan kalimat panjang nan baru saja Ia bagikan di aplikasi favoritnya—penuh kecemasan serta gemetar takut bila Ia lagi - lagi membuat kesalahan secara tak disengaja—sebuah tangan besar nan tampak akrab seketika menyentak gawai di genggaman.

Park Sooyoung.

Dengan bola mata memutar tanda Ia cukup lelah mengingatkan sosok keras kepala di hadapan, si jangkung mempersilahkan diri sendiri untuk mengambil tempat di sofa panjang ruang tengah; di sisi Irene.

Tanpa jarak tentu.

Dan rangkulan posesif sekaligus hangat adalah hal esensial setelah segalanya semakin stabil, termasuk ijin dari para member.

"Mereka mendukungmu, eonni. Kau dewasa dan tidak sedikit dari mereka yang mengatakan bila mereka belajar banyak darimu. Jadi berhentilah menatap layar ponsel seakan hidupmu bergantung padanya, hmm?"

Tapi Joy tahu bahwa Irene adalah Irene dan akan selamanya menjadi figur nan diam - diam menyimpan kebiasaan overthinking untuk dirinya sendiri, tidak seperti member lain yang spontan berbagi ketika kepala dipenuhi substansi negatif.

Helaan nafas panjang yang diikuti merosotnya tubuh seolah es yang memerangkap tubuh Irene seketika mencair, Joy seperti biasa, mengambil kesempatan demi mengamankan fisik mungil lebih dalam ke dekapan.

Ponsel dikesampingkan, kecuapan kilat di pipi didaratkan.

"Apakah aku masih pantas menjadi leader setelah semua kekacauan yang kubuat ini?"

Datar tanpa nada partikular.

Tapi tepat menusuk hati yang lebih tinggi mengingat sejauh ini tidak ada yang Irene lakukan selain melindungi member - member jauh diatas dirinya sendiri.

Itu menyakitkan relung Joy. Sangat.

Sadar bila Irene sudah sepenuhnya memeluk kewajiban untuk terus menjaga dan memelihara reputasi Red Velvet di mata publik, lalu kini malah menjadi bahan utama kecaman masyarakat berpikiran dangkal nan tak ingin berhenti mengkritisi sang pemimpin.

Joy sedih. Tentu saja.

Namun diatas segalanya, amarahlah yang mendominasi warna sanubarinya kini.

Terlalu emosi sebab Ia juga tak bisa melakukan apapun selain berdiri di belakang Irene sambil menyangga punggung mungilnya supaya tak benar - benar jatuh.

Dan mungkin Ia juga terlalu lelah melihat Irene nan biasanya energik, juga independen, bertransformasi menjadi karakter tersudutkan.

Joy takut.

Ia was - was jika Irene perlahan kehilangan dirinya sendiri.

Jadi satu - satunya usaha nan bisa dilaksanakan ialah pencegahan agar pikiran buruk tidak menyebar, mengambil alih Irene seutuhnya.

"Katakan lagi, eonni, dan aku akan mengabaikanmu sampai entah kapan."

Setidaknya jari - jari rapuh Irene masih memiliki harapan lewat cengkeraman di sweater kedua sisi pinggang Joy, yang mengerat usai kalimat pedasnya barusan.

"Andwae. Stay, please."

Menghangatkan hati Joy. Sebab secara tak langsung Irene baru saja memberi isyarat bila Ia pun lemah dan ingin dilindungi; ingin dijaga.

Tanpa ada keraguan, Joy menarik Irene untuk tenggelam lebih jauh ke kedalaman pelukan erat nan sedikit dibumbui kecemasan sebelum disusul usapan di rambut hitam legam wanginya.

Joy bahkan merasa nyaman ketika menyandarkan pipi ke sisi kepala Irene seiring sang leader ikut mengencangkan lekapan dengan melingkarkan dua lengan di sekitar pinggang Joy secara lebih layak.

Irene bersumpah, jika Ia tahu rasanya akan sedamai dan sesejuk ini berada di dalam pengawasan seorang yang lebih muda tapi lebih peka seperti Joy, Ia pasti sudah mengungkapkan perasaannya sejak dulu.

Lantas ciuman bertubi - tubi di puncak kepalanya juga bisa dirasakan seiring Joy memikirkan kata - kata apa yang paling tepat untuk diserahkan pada Irene nan sedang berada di kondisi terbawahnya.

Joy menemukannya.

Tidak puitis, tidak rumit, dan mungkin juga tak terlalu indah. Namun ketulusan dan kejujuran sudah cukup menyelimuti Irene yang diserang hawa dingin dunia.

"Aku disini, eonni. Kita disini. Even if you push us away, we still got your back. Jangan mendorong kami, eonni. Atau kalau kau memang sebegitu keras kepalanya karena takut banyak orang tersakiti, setidaknya biarkan aku menjadi backup–mu, hmm?".

Seperti angin air baru saja memadamkan panas api yang membakar dadanya, Irene berangsur rileks.

Lantas menarik diri hanya demi mengamati sekaligus meneliti ekspresi sesungguhnya dari sosok di hadapan, Irene mendapati dirinya sendiri menangkup kedua pipi Joy dalam tangannya.

Mata Joy masih berkilau seperti biasa.

Meski memancarkan sedikit amarah nan amat mudah dibaca, harapan tampak lebih bersinar; tersirat dari netra gelap seolah ingin Irene mendeklarasikan jawabannya.

Seolah Ia ingin berhenti mengejar supaya bisa berlari berdampingan.

Kemudian di detik akal sehatnya menangkap maksud difinit dari usaha - usaha Joy selama ini, Ia menggerakkan dirinya.

Memberanikan diri memajukan wajah hingga bibir mereka saling bersentuhan.

Kepercayaan.

Hanya satu subjek yang Joy minta dan Irene baru menyadarinya.

Memutar ulang bagaimana Ia membuang peluang akan perhatian Joy, Irene lalu menyentak pikirannya sendiri.

Menyentil keegoisan serta titel pemimpin nan menumpu sangat berat di pundak, lantas kembali menyelam ke kedalaman mata Joy setelah beberapa detik berciuman.

"Arasseo. Mulai dari detik ini aku akan menjatuhkan diri pada kalian saat segalanya terasa berat."

Tidak ada yang lebih melegakan dari itu, menurut Joy.

Irene mau membuka pintu keras hatinya saja sudah lebih dari sekedar cukup.

Dan pelukan malam ini yang dibalas hangat oleh pihak nan lebih tua menjadi penutup romantis, juga emosional.

"Terimakasih, eonni. Terimakasih sudah menjadi kuat selama ini. Sekarang giliran kami."

Repeat after me
WELCOME BACK IRENE ❤💚❤💚

JoyReneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang