2/3 [Pt. 2]

104 8 0
                                    

Ini lanjutan dari 2/3 yang sebelumnya ya. Mungkin yang belom baca bisa dicoba baca dulu. Aku nulis sambil dengerin beberapa playlist, tapi ini yang paling terakhir kudengerin sebelum publish. Siapa tau mau baca sambil dengerin juga soalnya ini sampe sekitar 2500an kata. Sedikit lebih panjang dari biasanya. Selamat membaca

.

2/3

.

Hari-hari biasa selalu terasa membosankan bagi Irene. Lihat saja. Kini yang Ia lakukan hanyalah terduduk di bangku panjang kantin sendirian dan —telah menjadi kebiasaannya kini— memandang punggung Seulgi dan Wendy yang sekarang entah sedang menertawakan apa.

Irene yakin sekali kedua perempuan itu sudah melihat Irene terduduk sendirian mengingat dirinya datang lebih dulu di kantin daripada mereka berdua. Ia sendiri pula tidak terkejut kala menyaksikan mantan temannya itu melewati mejanya begitu saja, berlagak seolah mereka terlalu sibuk mengobrol sampai tidak menangkap keberadaan Irene bahkan melalui sudut mata mereka.

Lantas disinilah Irene; menyeruput smoothies kantin yang sangat enak meskipun menurutnya sangat mahal seraya sesekali memutar mata bosan ketika mendapati kedua sosok jauh di depannya lagi-lagi tergelak kencang.

Mungkin Irene telah melupakan ajakannya terhadap seseorang satu minggu lalu, atau barangkali Ia hanya sangat ingin diajak, bukannya menghampiri lebih dulu, jadilah Ia tidak menyadari bahwa sesosok jangkung nan berdiri di tengah antrian, tak pernah melepaskan mata dari Irene; terkadang meluangkan pandangannya pula pada dua perempuan lain yang Irene terus saja pikirkan.

Joy sangat bersyukur orang-orang didepannya bukanlah individu-individu egois menyebalkan yang asik mengobrol sampai membuat antrian tidak bergerak. Kini Ia tinggal satu langkah menuju pesanannya dan dalam batin, Joy sudah menekadkan tujuan berikutnya serta dimana Ia akan duduk.

Mengenai hal itu, maka, tidak lagi mengejutkan bila Irene mendadak terlonjak kecil kala tubuh besar nan tinggi tahu-tahu memunculkan diri tepat di seberang Irene. Tanpa senyuman, hanya tundukan serta sebuah nampan yang menampung sepiring nasi katsu serta jus kiwi.

"Perlu ku siram lagi mereka?" Tapi tampaknya Irene terlalu terkejut sekaligus tercengang akan kehadiran Joy yang begitu menakutkan, menurutnya, sehingga bagi Irene tidak ada kata-kata dalam kamus perpustakaan yang dapat Ia gunakan untuk menanggapi Joy.

Barulah setelah beberapa detik keheningan menyelimuti keduanya —tentu saja ditemani kebisingan kantin— Irene terkekeh ringan, mengundang Joy yang tengah mengunyah suapan keduanya, sedikit mendongak untuk mengarahkan mata pada Irene.

Detik itu pula, jantungnya berdegup kencang. Memang benar Joy tampak begitu tenang dan cool sampai Irene sendiri meragukan kebenaran dibalik pengakuan Joy minggu lalu tentang dia yang menyukai Irene. Yang perempuan mungil itu tidak tahu, bagian dalam Joy selalu terasa dijungkir-balikkan setiap Irene tersenyum maupun tertawa seperti saat ini.

Salahkan mata Joy, tapi Ia sungguh melihat adanya sebuah cahaya yang mengelilingi figur Irene; menjadikan perempuan itu bersinar dalam riangnya.

"Yah, jangan lakukan lagi. Aku tidak akan pulih dari tawa kalau kau sungguh merealisasikannya." Hanya itu. Hanya balasan diselingi kikikan kecil dari Irene yang dibutuhkan untuk menarik sudut bibir Joy keatas, membentuk senyum tulus nan tidak Irene sadari.

Selalu seperti itu. Ketika Irene mulai kembali ke keadaan normalnya dan berusaha menatap Joy tepat di mata, pihak yang lebih tinggi akan kembali menunduk menatap makanannya sambil berusaha menghapus senyumannya.

JoyReneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang