×
Malam yang datar. Seperti biasa. Pikir Irene.
Mata gelap berkilaunya terpaku pada sebuah gelas bening di tangan nan tak henti Ia putar-putar pelan, menikmati bagaimana cairan kuning bening di dalamnya bergoyang riang seakan-akan dia tidak membuat semua orang dalam ruangan ini melayang setelah meminumnya.
Tidak benar-benar melayang. Mungkin seteguk whisky hanya akan memberikan rasa hangat nan telah Irene dambakan selama beberapa dekade terakhir.
Meskipun begitu, meskipun penuh gerutu, omelan, dan bahkan ocehan, Irene akan berakhir menyerahkan diri pada kedua sahabat lebih mudanya —Wendy dan Yeri— untuk ditarik paksa menuju satu tujuan paling pasti.
Bersama kelap-kelip lampu disko dan open table yang dipesan oleh teman konglomeratnya itu, Irene ikut menikmati suasananya. Sepi dalam keramaian. Lantai dansa dibawahnya yang sudah bagai lautan manusia, tidak sekalipun menghapus sensasi kesepian yang sudah bersarang, bahkan hampir tertanam kuat di relungnya.
"Kak Rene! Ayo berdansa denganku dan kak Wendy!" Irene menoleh malas kala sebuah suara menembus bising musik menggebu, menampilkan wajah berkilau Yeri yang kini sudah siap menggandeng kakak kandung berambut putih bagai turis itu.
Sekali lagi, lirikan Irene luangkan ke lantai bawah selagi kedua tangan bersandar di pembatas, sungguh tidak peduli bila genggamannya melemah sampai gelas di tangan jatuh memecahkan kepala orang lain nantinya. Batin Irene antara membisikkan iya dan tidak.
Mungkin —hanya mungkin— menggerakkan tubuhnya dengan bebas bersama musik bahkan tidak bisa sepenuhnya merasuk ke telinga dan kepalanya, Ia bisa mengalihkan kebosanan akan hidupnya sesaat.
Tapi Ia juga tidak suka dengan kerepotan. Irene merupakan figur paling sederhana dan simple yang pernah Yeri dan Wendy kenal. Tidak suka meluangkan sedikit lebih banyak energi jika dia pikir hal itu tidak memberikan benefit yang sepadan, tidak suka kesulitan, tidak suka berjalan lebih banyak dari seharusnya, tidak suka memberikan effort sedikit lebih tinggi dari standarnya.
Irene hanya ingin menjalani hidup sebagaimana mestinya. Tidak ada kekurangan maupun berlebihan. Hanya sampai di batas.
Namun entah bagaimana, pindaiannya terhadap ramainya lantai dasar memberikannya sebuah percikan kecil. Dahinya berkerut seiring matanya memicing mendapati seorang gadis semampai, mengenakan dress hitam seksi, tengah menyeruput sebuah jus jeruk di bar dekat pintu.
Salah satu sikunya menyender begitu nyaman dan dia melakukan hal yang tak jauh berbeda dengan Irene: memindai sekitarnya tanpa sedikitpun minat untuk bergabung menjadi salah satu bagian kecil dari kerumunan di hadapannya.
"Ugh, yasudah kalau tidak ma—"
"Arasseo, ayo!" Irene bahkan tidak peduli dengan gumaman Yeri yang hampir menyerah menarik Irene. Si mungil langsung berjalan biasa usai secara kasar meletakkan gelas di genggaman ke meja kaca pesanan mereka.
Ada sedikit raut kebingungan namun juga mempertanyakan perubahan keputusan Irene secara tiba-tiba, ekspresi yang menekan Irene untuk mengungkap rahasia yang Ia sembunyikan dibaliknya.
Namun ketika Irene sekedar mengangkat kedua alis tanpa senyum sedikitpun, membalas tatapan Yeri dengan ekspresi bingung nan tak jauh berbeda, Yeri akhirnya mengedikkan bahu lantas berjalan mendahului sambil berpikir bahwa mungkin instingnya sedikit meleset.
Nyatanya Yeri tidak meleset.
Alih-alih menyelipkan diri di padatnya manusia, Irene malah diam-diam mengubah haluan menuju seorang pekerja bar yang tengah sibuk menyiapkan minuman dibelakang counter, tepat belakang perempuan semampai nan tadi Ia lihat dari atas.
KAMU SEDANG MEMBACA
JoyRene
FanfictionOneshot collection of Joy X Irene ‼️The whole writing here is based on my own imagination plus some inspiration from another story. But I never even once plagiarized anyone's work. If there are any similarities, I sincerely apologize.