Di taman rumah sakit, kini Devian dan Nathan berada. Mereka duduk bersebelahan di kursi taman. Mereka masih saling diam, tidak ada yang memulai berbicara. Devian tampak masih menangis. Ia masih mengeluarkan air matanya karena mengingat kondisi adiknya yang kian lama makin memburuk. Devian sudah berulang kali menghapus air matanya, tapi air matanya itu terus saja mengalir membasahi pipinya. Ia sejujurnya sangat malu karena ada Nathan di sampingnya yang sepertinya memperhatikannya dan menunggunya berbicara. Namun, ia masih belum bisa mengendalikan dirinya untuk berhenti menangis. Ia menarik nafasnya lalu menghembuskannya perlahan. Ia hanya ingin berusaha lebih tenang sekarang.
Nathan yang melihat itu hanya diam menunggu Devian memuaskan dirinya menangis. Nathan mengerti perasaan Devian. Kakak sahabatnya itu pasti kini sedang merasa sedih dan khawatir dengan adiknya. Nathan akan memberi waktu untuk Devian menenangkan dirinya sendiri. Ia tidak akan memulai berbicara sebelum Devian yang memulai. Karena ia tahu, Devian mungkin belum siap untuk berbicara sekarang karena sedang menangis.
Setelah Devian sudah merasa lebih lega, ia pun mulai mengajak lawan bicaranya untuk berbicara, yaitu Nathan.
"Maaf, Nathan. Kak Dev sudah membuang waktu karena terlalu lama menangis. Kak Dev jadi malu nangis depan kamu", ucap Devian dengan suara serak habis menangis. Terlihat matanya sembab karena terlalu banyak menangis. Ia benar-benar benci menangis seperti ini. Ia tidak pernah suka menangis. Tapi ini semua gara-gara adiknya. Adiknya itu memang kelemahannya. Berani-beraninya adiknya itu membuatnya menangis seperti ini. Memalukan.
"Ngga pa-pa kok, kak. Aku ngerti kak Dev pasti sedih liat Jeno kayak tadi. Semoga hal buruk kayak tadi ngga terulang lagi ya, kak. Semoga Jeno cepet melewati masa kritisnya dan kembali sehat seperti biasannya", ucap Nathan.
"Terimakasih, Nathan", ucap Devian.
"Sama-sama, kak. Ngomong-ngomong, kak Dev ada apa minta ngobrol berdua sama Nathan? Apa ada hal penting yang ingin kak Dev bicarakan sama Nathan?", tanya Nathan.
"Hm, iya. Sebelum itu, kamu apa kabar, Nath? Udah lama ngga ketemu. Dulu kamu sering main ke mansion waktu SD. Sekarang udah jarang. Kalo kamu main kak Dev pasti lagi ngga di mansion. Ternyata sekarang kamu udah sebesar ini", ucap Devian.
"Aku baik, kak. Iya, udah lama kita ngga ketemu, kak. Aku sebenernya pengen sering main ke mansion, kak. Tapi om Danish biasanya ngga langsung izinin. Kak Dev bener, aku kalo main pas kak Dev lagi ngga di mansion karena kak Dev di kantor. Tapi sekarang kak Dev udah ketemu aku. Ya gini lah, kak. Aku udah gede, Jeno aja udah gede kan sekarang? Masa mau kecil terus", ucap Nathan sambil terkekeh.
"Nathan, kak Dev pengen tanya sesuatu sama kamu", ucap Devian.
"Tanya soal apa, kak?", tanya Nathan.
"Menurut kamu, Juna itu orangnya kayak gimana di sekolah?", ucap Devian.
"Oh, Juna itu orangnya lumayan tegas, orangnya suka marah-marah tapi baik, perhatian, terus dia itu ketua kelas di kelas aku loh, kak", ucap Nathan.
"Oh ya? Kalo sama Jeno dia gimana?", tanya Devian.
"Sama Jeno dia baik kok, kak. Malah sering kasih perhatian kecil buat Jeno.
Kalo Jeno bandel minum obatnya, dia pasti langsung ngomel-ngomel ke Jeno. Dia kalo sama Jeno adem-adem aja kak, tapi kalo sama Haikal tuh udah berantem mulu tiap hari kerjaannya. Orangnya lumayan emosian soalnya. Ya kalo ngadepin Haikal emang harus sabar banget, kak. Tapi Haikal paling lucu sih diantara kita. Kalo ngga ada dia di kelas udah sepi banget pokoknya", ucap Nathan."Gitu yah? Pantesan Jeno suka main sama kalian. Ternyata temennya unik-unik gini sifatnya", ucap Devian.
"Hahaha, iya kak", ucap Nathan sambil tertawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Little Angel✓
Teen FictionDILARANG PLAGIAT!!! ❌ (𝐿𝐸𝑁𝐺𝐾𝐴𝑃 !!) "Daddy emang punya segalanya, semuanya Daddy bisa beli. Tapi apa Daddy bisa beli apa yang aku butuhin? Aku ngga butuh mobil mewah keluaran terbaru, aku ngga butuh kapal pesiar, aku ngga butuh itu semua!". ...