"Sel, Lo ketemu Arjuna tadi?" tanya Laskar setelah ia turun dari motor sportnya. Sekarang, YoungTeam sedang berkumpul di rumah Manalu yang berfungsi sebagai markas mereka.
"Iya, kayak biasa, sok jagoan banget dia nolongin Greta. Padahal lagi seru-serunya kita adu bacot."
"Gue rasa dia suka sama Greta deh," tebak Natalia sembari memotong kuku Manalu yang rebahan santai di atas pangkuannya.
"Bodoamatin aja lah tu anak. Males gue jadi keinget muka dia." Arsel mendekat dan langsung merebahkan diri di atas sofa. Laki-laki itu menutup wajahnya dengan bantal bermotif garis-garis coklat kemerahan yang awalnya berada di samping Natalia. "Yang lain kemana?" tanya dia kemudian.
"Di komplek si Omar lagi aja pengajian," jawab Laskar yang juga ikut duduk di samping Arsel. Malam ini lumayan sepi daripada malam biasanya. Apalagi ketidakhadiran Omar, Genta dan Lintang yang sibuk dengan urusan masing-masing.
"Oh iya juga, gue lupa."
"Lo gak datang pengajian, Sel?" Manalu tidak niat bertanya. Ia sedang menyindir Arsel yang sangat malas mengaji itu. Dan lihatlah ekspresi Arsel yang biasa-biasa saja tanpa beban sedikitpun. "Jahanam banget gue punya temen."
"Lo sendiri juga gak datang." Bukannya sadar diri, Arsel malah melemparkan kalimat yang membuat mereka bertiga menghela napas panjang.
"Gue non-mus, Bro."
"Eh iya. Lupa."
Manalu memutar bola matanya jengah. Walaupun ia sudah terbiasa dengan Arsel yang selalu aneh tanpa lekang oleh waktu, tapi tetap saja ia masih heran. Entahlah, Arsel itu memang tidak bisa ditebak.
"Tadi Lo kenapa gak sekul, Sel? Buk Ida misuh-misuh gegara Lo, Bangke. Mana gue yang kena sasaran sebagai temen Lo," protes Laskar tiba-tiba. Ya, dia jadi mengingat kejadian tadi pagi di sekolah. Arsel tidak hadir, dan dirinyalah yang harus menjelaskan segalanya kepada Bu Ida. Bukan apa-apa sih, Arsel sudah keseringan tak sekolah sampai alpanya hampir penuh di buku absen.
"Males," jawab Arsel tanpa pikir panjang. "Tadi gue ketemu cewek aneh. Kayaknya dia anggota OSIS sekolah kita." Raut wajah pemuda itu mendadak berbeda, yang awalnya terkesan datar malah berubah masam dengan dahi berkerut.
"Almet merah?" tanya Manalun, Natalia dan Laskar barengan dan mendapati anggukan ringan dari Arsel.
"Dia Kanaya si waketos. Dia tadi emang lagi ke gedung 3 sih," jelas Laskar kemudian.
"Kok Lo kenal?"
"Dia udah kek seleb sekolah kita, Sel! Waketos, juara umum 3, terus juga anak kelas A." Kini giliran Natalia yang menjelaskan hal tersebut kepada Arsel yang masih tidak bisa mengerti.
"Pokoknya dia aneh. Masa dia panggil gue Marka? Gue mau nanya siapa Marka, tapi dia langsung pergi karena dipanggil guru katanya. Anjir, kesel banget gue liat tu cewek." Wajah Arsel jelas terlihat kesal dan kebingungan. Ia belum pernah bertemu dengan gadis itu sebelum. Dan apa? Dia dipanggil Marka? Nama murahan apa itu?
"Marka? Kok kayak gak asing?" Laskar tampak berpikir. Ia seperti pernah mendengar nama itu. Tangannya mengetuk-ngetuk bibir dan mata yang tampak menatap ke atas. Namun, tak kunjung mendapatkan jawaban yang dicarinya. "Siapa sih? Namanya beneran nggak asing sumpah!" ungkapnya greget sendiri.
"Ketika kedua makhluk dengan nilai rendah disatukan," gumam Natalia pasrah. Ia menepuk dahi Manalu yang masih tertidur di pangkuannya pelan, berharap laki-laki itu menjelaskan semuanya kepada Arsel dan Laskar.
"Marka itu anak kelas A yang sering disebut guru-guru sebagai contoh teladan di sekolah kita. Gue belum pernah liat muka dia sih, tapi nama dia terkenal karena prestasi, sering ikut olimpiade dan menang juga katanya. Dan, dia juara umum 1 dengan nilai terbanyak di sekolah kita. Dari ribuan murid dia berada di puncak nilai itu, Sel." Manalu menjelaskan dengan gamblang agar mereka paham. Laki-laki itu masih tidur di atas pangkuan Natalia dengan nyaman.
KAMU SEDANG MEMBACA
MarSel [END]
JugendliteraturPertemuan 'tak terduga antara kedua remaja laki-laki itu membawa banyak perubahan dalam kehidupan mereka. Marka menolak fakta bahwa Arsel adalah kembarannya. Bertemu setelah 17 tahun harusnya membuat mereka terharu dan saling merangkul, tetapi tida...