✧34 | Jauh Di Masa Lalu✧

1.1K 126 4
                                    

Seorang pria berusia empat puluh tahun itu berdiri tegak di depan bangunan dua lantai, yang diketahui sebagai markas YoungTeam. Tempat Arsel dan teman-temannya berada.

Jimmy menghela napas kasar, sebelum akhirnya laki-laki itu masuk ke dalam. Di sana, semua pasang mata menatapnya dengan tatapan kaget. Terkhususnya Arsel yang kini berada tepat di depannya.

Jimmy menatap seluruh ruangan yang diisi anak-anak muda. Ada beberapa wajah asing yang sepertinya belum pernah ia lihat.

"Om Jimmy?"

Ia tidak mengucapkan kata-kata apapun. Hanya duduk di atas sofa berukuran sedang, serta menatap Arsel. Menyuruh anak itu duduk di sampingnya.

"Kenapa Om ke sini?" tanya Arsel setelah duduk di samping Jimmy. Entah kenapa, rasanya tidak nyaman. Bukan karena keberadaan Jimmy! Tetapi karena tatapan laki-laki itu yang menyiratkan keseriusan.

Semua anggota YoungTeam, termasuk Marka, Sindi dan juga Sakura mendekat. Beberapa di antara mereka duduk di atas sofa, dan sebagian lainnya duduk di atas lantai. Toh, sofa yang dibeli Manalu sangat kecil untuk bisa menampung mereka semua.

"Lama gak ketemu," sapa Jimmy menatap Marka yang berada di depannya. Marka duduk di lantai, berada di samping Laskar. Marka meresponnya dengan sedikit anggukan serta senyum samarnya.

"Kalian berdua siapa? Teman baru Arsel, kah? Saya gak pernah liat."

Sindi dan Sakura saling pandang. Lalu beberapa detik kemudian mereka mengangguk kompak.

"Aku Sindi, bukan temennya Arsel! Aku pacarnya Marka," jelas gadis itu percaya diri. Ia tidak peduli ekspresi Marka yang kini menuntut penjelasan darinya.

"Aku Sakura, teman Arsel."

Sakura mengenal Jimmy, tetapi Jimmy tidak mengenalinya. Toh, mungkin sudah lima tahun semenjak laki-laki itu berada di luar negeri. Sementara Sakura baru berteman dengan Arsel empat tahun yang lalu.

Jimmy tersenyum sembari mengangguk-angguk mantap. "Berarti kalian orang penting juga ya buat mereka. Baiklah, kalian boleh di sini."

Omar menatap Jimmy penuh penjelasan. "Emang tadi Om mau ngusir mereka?" tanyanya.

Jimmy tertawa. "Hampir."

Laki-laki itu kemudian mengecek arlojinya. Jam 14:32, rencananya ia akan menghabiskan waktu satu jam di markas ini untuk menceritakan beberapa hal kepada Arsel, Marka dan yang lain.

"Om nggak bakal ceritain semuanya. Walaupun mungkin Om tau siapa orang tua kalian, Om nggak mau ikut campur lagi. Biar mereka sendiri yang kasih tau nantinya," ujar Jimmy dengan wajah sedikit tidak enakan.

"Baiklah. Semuanya berawal dari semenjak kami bersekolah di Odette School. Jauh sebelum kalian semua dilahirkan."

••• 1996, Odette School •••

Jimmy gelisah sendiri. Ia tidak mempunyai teman selama ia tidak bisa berbahasa inggris. Menjadi siswa di sekolah internasional begitu sulit.

Ia tidak pernah diajarkan berbahasa inggris oleh sang Ibu yang aslinya Jawa tulen. Mana ibunya hanya lulus SMP. Ayahnya? Tentu saja tidak pernah. Toh beliau sediri sudah lama pulang ke Belanda dan tidak pernah kembali. Walau rutin menafkahi mereka setiap bulannya.

Anak itu hanya melongo menatap jajaran siswa-siswi yang entah berasal dari negeri mana itu saling tertawa menanggapi obrolan masing-masing.

"Hai."

Ia menoleh. Menatap sosok gadis bermata sipit serta kulit putihnya yang begitu bersinar. Bagaimana ada orang seputih ini?

"Mata kamu bagus. Warna biru."

MarSel [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang