✧46 | Terimakasih Atas Segalanya✧

1.2K 106 2
                                    

Keheningan membaluti kelima orang yang saling menundukkan pandangan. Mereka sama-sama bertengkar dengan isi pikiran yang sedari tadi mengganggu ketenangan.

Kemudian, Amar mencolek pergelangan tangan sang istri. Memberi kode untuk meninggalkan ketiga orang itu sementara waktu.

"Kami keluar dulu, Nak," pamit mereka yang mendapatkan anggukan ringan dari Sakura.

Kini, hanya tinggal mereka bertiga di dalam ruang tamu rumah Sakura. Mereka canggung. Tidak ada yang berusaha untuk membuat suasana jadi sedikit tenang.

Panji tidak berani menatap Sakura. Tatapan matanya masih lekat pada selembar kertas yang memaparkan hasil tes DNA. 99,9% benar, Sakura adalah anaknya dan juga Yuki.

Kali ini ia tidak ragu. Dokter yang ia pilih merupakan dokter kepercayaannya.

"Maaf." Hanya kata itu yang keluar dari mulut Yuki. Wanita cantik tersebut meremas rok panjang berwarna biru tua itu dengan keras. Berusaha memberikan keberanian kepada dirinya sendiri.

"Sudah terlambat." Itu suara Panji. Tangannya bergerak ke depan dan meletakkan kertas tersebut di atas meja. "Kita sudah gagal jadi orang tua," lanjut Panji kemudian. Ia sama sekali tidak menatap Sakura. Tatapannya selalu beralih menatap hal lain ketimbang menatap sang putri yang berada di depannya.

Pria itu berdiri lalu menatap Yuki. "Kita cerai saja."

Yuki menoleh. Menatap Panji dengan mata penuh tanda tanya. 

"Itu pilihan yang tepat."

Wanita itu menggeleng. "Kau menyalahkan ku atas semua ini 'kan, mas?"

"Lalu siapa lagi yang harus ku salahkan? Kau yang telah membuangnya." Wajah Panji terlihat datar. Tidak ada ekspresi di sana, membuat Yuki menitikkan beberapa air mata.

"Aku melakukan hal itu karena kamu! Kamu tidak menyukai anak perempuan!" cicit Yuki kembali terisak. Sebenernya ia ingin kuat di depan Sakura, tetapi tak berdaya. Ini terlalu membuat dadanya sesak.

"Sejak kapan aku berkata seperti itu?" tanya Panji dingin.

Panji memang tidak pernah mengatakan hal seperti itu. Ia tidak pernah berkata kalau dia tidak suka anak perempuan. Hanya saja, tuntutan keluarga Lomera begitu ketat, sehingga Yuki menjadi salah paham.

"Sebenarnya, aku ingin mengatakan sesuatu."

Mereka berdua kini menatap Sakura yang berada di depan. Gadis itu menghela napas panjang, berusaha menyiapkan kata-kata yang akan ia sampaikan kepada kedua orang tersebut.

"Aku sempat mikir untuk beberapa waktu. Bagaimana jika aku nggak dibuang dan tumbuh besar bersama kalian? Apa hidup ku akan bahagia atau malah terjerumus kedalam drama tanpa ujung seperti kalian saat ini? Semakin dipikir, jawabannya semakin jelas. Aku nggak akan bahagia dan kalian bukalah orang tua yang tepat."

"Sebenarnya aku bersyukur telah dibuang. Karena dengan hal itu, aku bisa ketemu sama orang tua yang sangat baik dan perhatian yang mungkin sangat langka di dunia ini. Aku bahagia. Aku bersyukur dan akan terus bersyukur telah diterima oleh keluarga ini. Bahkan disaat mereka bukan orang tua kandung ku. Nggak masalah! Mereka udah lebih dari cukup untuk jadi orang tua yang baik."

"Ibu, entah panggilan itu pantas untukmu, tapi aku tetap akan memanggilnya untuk pertama kali dan mungkin terakhir kali. Terimakasih ya, sudah melahirkan ku. Aku senang telah dilahirkan di dunia ini."

"Dan ... terimakasih juga telah membuang ku. Karena yang telah ibu lakukan merupakan sebuah pilihan yang tepat. Aku menemukan keluarga yang tidak pernah bisa ditemukan orang lain. Keluarga yang penuh kasih sayang."

MarSel [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang