Di kelas XI-A-1 pojok kanan depan, terdapat seorang laki-laki yang sedang duduk termenung sembari menatap ke luar jendela.
Keramaian anak kelas X di lapangan tidak membuatnya tertarik sama sekali. Hal itu membuat Kanaya yang sedang menatap Marka dari kejauhan pun mendekat.
"Kenapa, Ka?" tanya gadis itu serius.
Marka tidak sadar. Matanya masih menatap ke arah lapangan, tetapi dengan tatapan kosong. Sangat terlihat kalau pemikiran Marka kini sedang jauh berputar di luar sekolah.
"Ka! Kenapa?" Kanaya menepuk pundak Marka, berusaha membuat laki-laki itu tersadar dari lamunan. "Jarang-jarang Lo begini."
Marka yang sudah tersadar pun berdehem pelan. "Lagi gak enak badan aja."
Kanaya tahu itu bohong. Namun, ia hanya mengangguk menanggapi alasan Marka agar laki-laki itu nyaman. Jika banyak bertanya juga, Marka tidak akan semudah itu memberitahunya sih.
"Nay, nanti bisa gantiin gue mimpin rapat nggak?" Suara Weren terdengar dari arah pintu. Laki-laki itu memasuki kelas dengan wajah lesu dan mata yang terlihat sayu. "Gue ngantuk banget sekarang," lanjut Weren kemudian.
Kanaya mengangguk setuju. "Tidur di UKS aja. Lo udah nggak tidur selama dua hari gara-gara persiapan projek itu, 'kan?"
Marka yang awalnya terlihat tidak tertarik kini mendongak, menatap Weren dan Kanaya secara bergantian. "Projek apa lagi?"
Weren tersenyum samar. Terlihat sangat lelah namun masih bisa menyunggingkan senyuman yang menyebalkan di mata Marka. "Buat tahun baru."
Ah, iya. Tahun baru sebentar lagi. Bisa-bisanya iya lupa. Padahal ia pernah berjanji kepada Miya akan membelikan gadis kecil itu boneka kelinci.
"Muka Lo kenapa banget dah? Lesu gitu." Weren mendekati Marka, duduk di kursinya, yang bersebelahan dengan kursi Marka.
"Muka Lo juga," balas Marka yang mendapatkan kekehan dari Kanaya. Sementara Weren hanya bisa mendengus, kesal dengan Marka yang tidak langsung menjawab.
Kelas XI-A-1 sungguh sepi hari ini. Setengah dari mereka sibuk berkutat dengan buku-buku pelajaran di perpustakaan, dan setengahnya lagi sedang asik menonton anak-anak kelas X yang sedang praktek lari marathon.
Jika saja suasana hati Marka baik, laki-laki itu pasti akan ke perpustakaan untuk membaca atau mengerjakan beberapa soal yang sekiranya akan muncul di ujian akhir semester depan. Tetapi ya begitulah, mood-nya sedang tidak baik semenjak kemarin. Saat Moreo datang ke rumahnya.
••• Kemarin, di kediaman Eris (Rumah peninggalan Herianto) •••
"Lo pasti tau kenapa gue datang ke sini."
Gaya bicara dan sorot mata Moreo sudah membuat Marka paham kenapa sosok itu datang langsung ke rumahnya. Laki-laki berusia 20 tahun itu terlihat serius, seolah-olah yang ditatap adalah orang yang berbahaya untuknya.
"Gue tau," jawab Marka dengan ekspresi biasa saja. Mencoba untuk 'tak terprovokasi oleh tatapan Moreo.
"Bagus deh. Lo harus sadar posisi."
Marka tertawa. "Gue sadar. Tapi bukannya posisi gue lebih besar di sini? Walaupun umur Lo lebih di atas gue tiga tahun, tapi gue tetap Paman Lo."
Rahang Moreo mengeras, wajahnya juga memerah menahan emosinya yang terlihat akan segera keluar. Namun, beberapa detik kemudian ia kembali terlihat santai. Sungguh pengontrol ekspresi yang hebat.
"Kenapa nggak nyerah aja?" tanya Moreo.
"Kenapa gue harus nyerah?" tanya Marka balik.
Tidak ada jawaban. Masing-masing dari mereka saling diam dengan menunjukkan emosi yang setara.
KAMU SEDANG MEMBACA
MarSel [END]
Teen FictionPertemuan 'tak terduga antara kedua remaja laki-laki itu membawa banyak perubahan dalam kehidupan mereka. Marka menolak fakta bahwa Arsel adalah kembarannya. Bertemu setelah 17 tahun harusnya membuat mereka terharu dan saling merangkul, tetapi tida...