✧40 | Tidak Akan Pernah!✧

1.2K 124 5
                                    

Hujan semakin deras mengguyur kota. Suara yang bertalu-talu itu tidak menggangu tidur ketiga bayi yang tampak nyenyak dan nyaman.

Namun, keempat orang dewasa yang berada di sana malah merasakan hal sebaliknya. Selain karena hawa dingin yang menusuk kulit, emosi mereka juga meluap-luap saat mengetahui kenyataan di depan mata.

Jimmy selama ini tidak menyangka, kalau ternyata Annette akan hamil di luar nikah. Ia tidak berniat bertanya siapa ayah dari anak-anak itu. Jika Annette tidak mau menceritakannya, maka biarkanlah.

"Pergilah dari sini! Panti tidak terbuka subuh-subuh begini!" usir Annette setelah terdiam cukup lama.

"Tidak masalah. Serahkan saja salah satu anak mu!"

"Kau gila?"

Jimmy mendekat. Orang yang menggendong bayi perempuan itu juga ikut mendekat. Mata Jimmy menatap kedua anak itu dengan tatapan antusias.

"Yuki pasti akan baik-baik saja setelah ini. Berikan salah satu anak mu untuk Yuki! Lebih baik dia bahagia di kediaman Lomera daripada di panti asuhan."

Annette mencegat tangan Jimmy yang hendak mengambil bayinya. "Jangan kurang ajar, Jimmy! Aku tidak akan pernah menyerahkan anak-anak ku untuk mereka! Kediaman Lomera seperti neraka. Dan aku sudah pernah merasakannya."

Diana hanya diam. Tidak bisa banyak bicara. Entah kenapa otak kecilnya hampir ingin meledak. Bagaimana tidak? Kejadian yang ia lihat barusan sungguh diluar nalar.

"Aku sebenarnya tidak ingin mengancam mu, Ann. Bagaimanapun, kita adalah sahabat. Tapi aku harus melakukannya kali ini. Jika tidak Yuki akan dalam bahaya. Berikan salah satu anak mu agar aku tidak mengungkapkan kepada publik bahwa kamu hamil di luar nikah!"

"Saat publik tahu, mereka mungkin akan mencari tahu siapa gerangan ayah kandung anak-anak ini. Dilihat dari kamu yang begitu melindunginya, mungkin saja orang itu sangat penting," lanjut Jimmy yang membuat Annette menggigit bibir bawahnya panik.

Jika ini terjadi. Maka rencananya akan gagal untuk melindungi Heri dan anak-anaknya.

"Tenang saja. Anak kamu akan dirawat dengan baik oleh Yuki."

Ini ide gila. Tapi pilihan yang mengharuskan Annette memilih sungguh berat.

"Jika kita banyak bicara, waktu akan cepat berlalu dan orang-orang akan tahu. Lakukan saja seperti yang kau mau, Jim. Dan, pastikan anak ku baik-baik saja di sana."

Baiklah, Annette sudah mengakui ia gila. Air matanya kini mengalir deras. Walau sekuat tenaga ia menahannya untuk terlihat tegar di depan Jimmy, tapi tidak bisa.

Jimmy tersenyum kecil. Ia kemudian menyuruh orang disampingnya untuk menukar bayi perempuan itu dengan bayi yang berada di pangkuan Annette.

"Tapi ... tolong jangan ganti namanya!"

Jimmy menaikkan sebelah alisnya heran.

"Arsel. Namanya Arsel. Katakan hal itu kepada Yuki. Dan, tolong jangan katakan siapa sebenarnya orang tua dari anak itu! Yuki tidak perlu tahu!"

Mata Jimmy membesar. A-Arsel?

"Jangan bilang yang satunya bernama Marka?" tanya Jimmy masih tidak percaya.

Tidak ada jawaban. Berarti memang benar. Kenapa harus nama itu?

"Yuki sudah memberi nama anaknya?"

Jimmy menggeleng. "Belum."

"Haruskah aku saja yang beri nama?" tanya Annette kemudian.

"Kenapa harus kamu? Lagian Yuki mengatakan, biar orang yang akan merawat anak ini saja yang memberi nama. Kau tidak akan merawatnya, jadi diam saja."

"Omongan mu masih saja menyakiti, Jim."

••• Saat ini, di markas YoungTeam. •••

Diana menatap satu-satu wajah yang berada di markas. Sudah dua menit semenjak dia selesai bercerita, tetapi tidak ada respon apapun dari orang-orang itu.

Semuanya terdiam.

Ya, Diana bisa memakluminya. Untuk anak-anak SMA seperti mereka, kenyataan ini akan sangat sulit diterima.

Namun, mau bagaimana lagi.

Seorang gadis berdiri dari duduknya. Wajah itu menyiratkan kekecewaan yang mendalam. Diana sempat melihat mata gadis itu, sekilas terlihat berkaca-kaca.

"Kamu! Mau kemana?"

Tidak ada jawaban. Punggung itu kemudian menghilang dari pandangan.

Marka menoleh kebelakang. Sakura sudah resmi pergi dari markas. Ia tahu bagaimana perasaan gadis itu. Karena ia juga merasakannya.

"Gadis itu adalah bayi yang ditelantarkan bersama ku di depan panti."

Diana yang awalnya biasa saja kini menampilkan ekspresi kaget. Matanya berkedip-kedip cepat dengan bulu mata yang lebat tersebut.

"Maksudmu bayi itu anaknya Yuki dan Panji?" tanya Diana yang masih tidak percaya.

Takdir ternyata membuat anak-anak ini bertemu, ya. Sungguh mengagumkan.

"Ya, kalau menurut cerita mu sih seperti itu. Tapi entah kenapa aku masih kesulitan percaya."

Marka jujur. Ia memang masih tidak ingin percaya. Ini, tidak masuk akal.

Diana menaikkan kedua bahunya acuh tak acuh. "Terserah kamu sih. Aku hanya menceritakan apa yang ku tahu."

***

Sakura mengurung diri di dalam kamarnya. Sudah beberapa jam semenjak ia kembali dari markas dengan perasaan campur aduk.

Bantalnya sudah basah dengan air mata.

Antara percaya dan tidak. Namun, tampaknya cerita Diana memang benar. Wanita itu sama sekali tidak berbohong. Terlihat dari mata serta raut wajahnya.

Sakura memeluk guling miliknya erat. Matanya yang sembab itu tertutup rapat seolah-olah enggan terbuka dan melihat sekeliling.

Ia muak.

Bagaimana kabar Marka dan Arsel, ya? Mereka pasti lebih kacau darinya sekarang.

Kenyataan ini membuat mereka tidak karuan. Sakura mengabaikan telepon serta notif chat dari ponselnya yang sedari tadi berbunyi. Ia juga mengabaikan orang tua angkatnya yang khawatir di luar kamar.

Ia hanya ingin sendiri untuk sementara waktu.

Mencoba menerima nasib yang tidak masuk akal ini.

Gadis itu menyapu air matanya dengan tisu yang sudah menyebar di seluruh lantai kamar. Mentalnya sekarang lebih berantakan daripada kamar ini.

Bagaimana bisa? Bagaimana bisa Yunita dan Panji adalah orang tua kandungnya? Mereka berdua adalah orang tua Arsel!

Takdir lagi-lagi mempermainkan mereka. Mungkin belum puas membuat mereka sengsara.

Sakura tertawa keras. Ia merasa hampir gila. Sungguh gila.

"Sakura! Nak! Kamu baik-baik saja, 'kan?"

Suara yang menyiratkan kekhawatiran itu milik bundanya. Kedua orang di luar sana mengetuk pintu, mencoba membuat Sakura menjawab pertanyaan mereka.

"Sakura! Jawab sebelum pintunya ayah gebrak!"

Ancaman dengan nada lembut itu bukanlah hal yang harus Sakura takuti. Mereka berdua tidak pernah bisa marah di depan Sakura. Selalu memanjakan gadis itu dengan kasih sayang dan juga apapun yang mungkin Sakura mau.

Harusnya, mereka lah orang tua kandung Sakura! Orang yang tidak pernah malu membanggakannya walaupun penuh kekurangan ini.

Tapi ... kenapa harus orang-orang bejat itu?

Kenapa harus orang yang malu mempunyai anak perempuan sepertinya?

Panji dan Yunita tidak pantas disebut orang tua. Mereka bukanlah orang tua bagi Sakura! Tidak akan pernah menjadi orang tua!

MarSel [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang