✧13 | Tentang Keluarga✧

2.3K 166 263
                                    

Setelah kepulangan Sindi dari mansion Lomera. Panji menatap tajam kearah Arsel yang kini berkeringat dingin di tempatnya. Yunita sudah siap siaga, wanita itu berdiri di samping putranya, agar sang suami tak lagi melakukan kekerasan.

"Hilang peluang."

Hening. Tak ada yang berani bersuara. Semua maid segera pergi ke belakang menyembunyikan diri dari pandangan tuan besar.

"Lagi dan lagi kamu berulah. Mau jadi apa kamu Arsel?"

Ruang tamu yang besar itu masih hening. Hanya detik jam yang terdengar jelas. Bahkan Yunita yang notabenenya adalah istri Panji pun tak berani membela Arsel.

"Setelah dulu saya pukul sampai hampir mati kamu belum kapok?"

Arsel ingat, enam tahun yang lalu. Saat ia masih kelas 7. Nilainya pertama kali turun dan mendapatkan merah di semua mata pelajaran. Tak ada peluang untuk naik kelas. Namun dengan uang yang dimiliki ayahnya, tentu saja itu menjadi hal yang mudah di atur. Arsel tahu ia salah, sangat malahan, tetapi melihat perlakuan Panji yang dari dahulu sama saja menuduhnya ini itu, Arsel lebih memilih hidup tanpa aturan.

"Sekarang saya tidak peduli nilai kamu merah di semua mata pelajaran seperti dulu. Karena saya pikir kamu bisa berguna dalam hal lain. Tapi apa? Ternyata sama saja."

Panji masih menatap Arsel dengan tajam. Walau nada suaranya masih terdengar santai. Padahal justru Panji sangat marah sekarang.

"Kadang saya pikir, kamu benar anak saya atau bukan sih?"

Deg!

"MAS!"

"Kenapa? Kenapa, Nita? Salah mas ngomong begitu? Anak ini sama sekali nggak mirip denganku!"

"Jadi ... Mas nuduh Aku selingkuh? Lagi-lagi mas nuduh aku begitu???"

"Lalu apa? Kami berdua nggak mirip!"

Yunita menangis terisak-isak di samping Arsel. Wanita itu kemudian berteriak, "KAMU NGGAK PERNAH PERCAYA SAMA AKU SEDIKITPUN! WAKTU ITU KITA UDAH TES DNA! DAN KAMU LIHAT SENDIRI HASILNYA! 99,9% AKURAT!"

Arsel tak bersuara. Ia sudah terbiasa dengan suasana dramatis ini. Tak lagi bisa menangis karena air matanya sudah kering dari dulu. Kejadian seperti ini sudah ia lalui dari ia berusia lima tahun. Waktu itu ia menangis tanpa henti saat ayahnya selalu meragukan kalau dia bukanlah anak kandungnya.

"Terserah mau kamu berselingkuh, mau anak ini hasil hubungan gelap kamu dengan laki-laki lain. Aku nggak peduli, selama anak ini berguna buat aku. Jadi, didik dia dengan baik!" ujar Panji penuh penekanan. Pria itu kemudian menaiki tangga dan menuju ke kamarnya.

Panji masih tak percaya. Hasilnya memang seperti itu. Tapi tak ada satupun dari Arsel yang menunjukkan mirip dengannya. Fisik, otak, perilaku dan lainnya. Mereka adalah dua orang yang berbanding terbalik.

Dia bukan anakku! Tapi berkali-kali tes dilakukan, hasilnya tetap sama. Batin Panji frustasi.

"Aku sangat yakin kalau dia memang bukan putraku."

Hasil tes bisa dimanipulasi. Ia tidak akan menyerah untuk mencari tahu semuanya.

***

Arsel merebahkan diri di atas kasur empuknya. Untuk malam ini ia merasa lega. Panji tidak menggunakan kekerasan karena sang Ibu sudah sigap berada di samping Arsel tadi.

"Keluarga penuh drama." Pemuda itu menutup mukanya dengan guling dan berteriak keras guna meredamkan suara tangisannya.

Baiklah! Untuk kali ini air matanya kembali mengalir. Ternyata tidak kering seperti dugaannya tadi.

MarSel [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang