✧12 | Sebuah Rahasia✧

2.2K 184 251
                                    

Sorakan gembira dari barisan kelas E kembali terdengar. Tim kelas E memenangkan pertandingan di babak ke tiga dengan jumlah skor, 25-27.

Natalia mengecek jam di pergelangan tangannya. Jam sudah menunjukkan pukul 16.45, lima menit lagi sebelum waktu pulang. Gadis itu kemudian menghela napas panjang. Lalu, melirik Arsel dengan wajah berseri-seri di lapangan.

"Besok final, ya?"

Manalu mengangguk kecil sembari terus mengunyah snack kentangnya.

"Sin, bisa nggak kalau Lo ngomong sama Arsel lusa aja?" tanya Natalia hati-hati.

Sindi menggeleng cepat. "Nggak mau! Lagian gue udah bela-belain nunggu dari tadi di sini!" Tentu saja ia protes. Lagian dari tadi tak ada yang mengatakan kepadanya untuk menunda obrolan.

Cekrek!

Cekrek!

"Cantik banget!!!"

"Kira-kira doi mau foto bareng gue gak sih?"

"Gak nyangka ketemu Sindi di sini."

Sindi menoleh ke belakang. Melambai-lambai kecil sembari menebarkan senyuman manisnya kepada beberapa orang yang tampak seperti penggemarnya? Mungkin saja sih.

"Guys, samperin Arsel yuk!" ajak Laskar yang langsung berdiri dari duduknya. Sesekali ia melirik ke arah Arsel agar tak kehilangan jejak. Ya, lagian itu makhluk memang suka menghilang. Entah punya kekuatan apa, tak ada yang tahu.

YoungTeam dan Sindi pun pergi meninggalkan barisan dan berniat menyusul Arsel yang sedang beristirahat di dekat lapangan, dengan beberapa anggota voli yang lain.

"Sel!" panggil Laskar saat mereka sudah berada lumayan dekat dengan sahabatnya itu.

"Yo!" Arsel melambaikan tangannya, menyuruh mereka berjalan lebih dekat lagi. "Sindi?" tanya laki-laki itu keheranan. Iris matanya memperhatikan kedatangan tiba-tiba dari gadis yang hampir menjadi istrinya tersebut penuh selidik.

"Hmm."

"Ngapain?"

"Menurut anda???" tanya Sindi sedikit kesal. Manusia mana yang menjawab pertanyaan dengan pertanyaan juga?

Arsel menghela napasnya pelan. Ia lalu mengajak gadis itu sedikit menjauh dari teman-temannya.

"Tentang perjodohan kita ... mereka udah batalin."

Pemuda itu mengangguk pertanda mengerti. Jujur, ia lega akhirnya ia tak harus bertunangan juga dengan Sindi.

"Tapi kata ayah gue, om Panji keliatan kurang setuju sama keputusan ini."

"I know. Ayah gue ngotot banget biar perjodohan ini lancar." Arsel kemudian duduk di salah satu kursi penonton yang kosong. Setelah pertandingan selesai tadi, semua penonton sudah bersiap-siap untuk pulang sebelum akhirnya pemberitahuan untuk pulang diumumkan.

Melihat Arsel yang duduk di kursi, Sindi pun tak mau capek-capek berdiri dan akhirnya memilih duduk juga. Kejadian di sana tak luput dari rasa penasaran beberapa orang yang masih tinggal. Mereka mengambil ponselnya dan mengabadikan momen tersebut dengan memposting di media sosial. Tentunya dengan caption yang dilebih-lebihkan.

"Gue benci sama pemikiran orang kaya. Mereka jadiin pernikahan sebagai ajang bisnis. Biar apa coba?" tanya Arsel dengan intonasi tak santai.

"Ya 'kan biar untung. Lagian perjodohan di keluarga kita udah turun-temurun. Nggak boleh nikah sama sembarang orang. Katanya sih biar menghasilkan pewaris murni."

MarSel [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang