Malam ini, langit tampak bersih dari awan gelap. Tak jarang beberapa bintang terlihat berkelap-kelip di atas sana. Arsel tersenyum puas sembari bersandar di dinding gedung teater. Ia berada di taman yang disinari lampu remang-remang. Di sinilah tempat ia dan Marka bertukar informasi tentang satu sama lain, sebelum akhirnya mereka memutuskan untuk bertukar identitas.
Di halaman depan sana, ratusan bahkan ribuan orang sedang asik bercengkrama sembari menunggu hitung mundur sampai tahun baru nanti. Namun, Arsel memilih sendiri untuk sementara waktu.
Gedung ini merupakan tempat pertama ia dan Marka bertemu. Tempat dimana semua kemungkinan yang terjadi sekarang terlihat seperti hal yang mustahil dulunya. Arsel tersenyum samar, gedung ini akan menjadi kenangan terindah untuknya dan Marka.
"Ternyata disini." Itu suara Marka. Cowok itu kemudian mendekati Arsel, sembari membawa dua cup kopi hangat yang tadi ia beli.
"Lagi merenung aja," jawab Arsel seraya terkekeh. Ia segera mengambil kopi cup yang disodorkan Marka dan langsung menyesapnya. Huft, hangat. Soalnya malam ini cuaca sedang dingin-dinginnya sih.
"Padahal ini baru sebulan semenjak pertemuan kita waktu itu. Tapi rasanya udah banyak yang berubah, ya."
Arsel mengangguk. Benar kata Marka. Padahal pertemuan mereka bisa dibilang kurang lebih satu bulan, tetapi sudah banyak kejadian tidak terduga sampai membuat waktu terasa lebih lambat berlalu.
"Lo percaya takdir nggak sih, Ka?" tanya Arsel tiba-tiba.
Marka tertawa. Menatap adiknya itu dengan tatapan mengejek. "Kalau Lo?" tanyanya balik.
"Dulu gue nggak percaya."
"Kalau sekarang percaya?"
Arsel mengangguk. Ia sama sekali tidak menatap abangnya yang hanya beda lima menit tersebut. Matanya fokus melihat lampu remang-remang yang menyinari taman belakang gedung ini. "Kenapa nggak dari awal kita kayak gini aja, ya? Kita nggak usah pisah dan hidup bahagia bareng ayah bunda."
Awalnya tidak ada suara dari Marka. Ia tahu kegelisahan yang terlihat jelas dari wajah sang adik, karena pada dasarnya, ia pun juga sempat memikirkan skenario itu. Akan tetapi yang namanya hidup, pasti akan memiliki banyak rintangan dan masalah, jika mereka bisa menghadapinya. Maka, mereka telah menjadi orang yang sukses.
"Kita kayak gini dari awal karena kesalahpahaman aja. Bunda yang nggak mau perusahaan ayah jadi kena imbas karena skandal besar, dan ayah yang sama sekali nggak tahu kalau kita ada. Ditambah, tuntutan keluarga bunda waktu itu benar-benar diluar nalar. Wajar aja bunda harus nitip kita di panti. Ya walaupun pada akhirnya Lo jadi nyasar ke rumah paman Lo."
Arsel tertawa. Siapa sangka kalau ternyata Panji yang selama enam belas tahun ini ia anggap sebagai ayah adalah pamannya? Sungguh takdir yang aneh. Akan tetapi Arsel akan menerimanya untuk sekarang. Setidaknya ia lega, karena semuanya sudah jelas dan tidak ada lagi kebingungan diantara mereka.
"Ekhem."
Keduanya kompak menoleh ke samping kanan. Di sana, seorang gadis dengan balutan dress selutut berwarna merah maroon itu mendekat. Rambutnya digerai, membuat pesona sang gadis malam ini tampak anggun.
"Tumben senyam-senyum sendiri, Pang. Kenapa nih?"
Sakura yang awalnya tersenyum bahagia kini mengerucutkan bibirnya kesal. Padahal di malam yang berbahagia ini ia hanya ingin dipanggil dengan namanya. Arsel memang suka sekali membuat mood dia buruk, ya. Dari dahulu sampai sekarang tidak pernah berubah.
"Dipanggil tuh sama yang lain. Bentar lagi hitung mundur," ujarnya dengan nada tidak bersahabat. Kesal sekali saat melihat tatapan Arsel yang mencemoohkan penampilannya. "Matanya itu lho! Gue cantik padahal!" protesnya tak terima.
KAMU SEDANG MEMBACA
MarSel [END]
Teen FictionPertemuan 'tak terduga antara kedua remaja laki-laki itu membawa banyak perubahan dalam kehidupan mereka. Marka menolak fakta bahwa Arsel adalah kembarannya. Bertemu setelah 17 tahun harusnya membuat mereka terharu dan saling merangkul, tetapi tida...