✧09 | Teman Sekamar✧

2.6K 228 287
                                    

Arsel sekarang duduk terdiam di atas sofa panti. Dari penglihatannya sih, panti ini lumayan mewah juga. Bahkan lebih terlihat seperti asrama dibandingkan dengan panti asuhan pada umumnya. Ya, lupakan saja lampu gang yang rusak, hal itu memang bukan tanggung pihak panti. Soalnya lampu tersebut lebih ke tanggungan kompleks ini.

Mata Arsel kemudian pindah ke dinding yang bercat putih dengan sedikit ornamen warna emas, terlihat beberapa foto tergantung di sana. Kebanyakan foto anak-anak panti yang terlihat sudah seperti keluarga sendiri. Dan tentu saja, di sampingnya terdapat banyak sertifikat penghargaan yang bertuliskan nama, Marka Terasya.

"Jadi, nama adek ini, Arsel Lomera?" tanya Bu Rukiah yang kemudian memulai pembicaraan.

"Arsel aja, Buk. Nggak ada Lomera nya," koreksi Arsel terkesan tak suka. Sebenarnya nama panjangnya memang Arsel Lomera. Nama turun-temurun keluarganya dari dahulu, tapi ia tak begitu suka dengan nama yang terlihat alay mungkin? Entahlah, intinya dia memang tak suka dengan nama itu.

"Nama keluarganya masa nggak diakui?" Pemuda yang tampak tak bersahabat itu kemudian bersuara juga. Siapa lagi kalau bukan Marka. Ia duduk di dekat Buk Rukiah yang kini terlihat mencolek lengannya agar menjaga ucapan.

Jujur sih, tak biasanya Marka seperti ini.

"Ya sudah, bicara saja kalian berdua. Ibuk harus cek anak-anak apa sudah tidur. Tapi jangan berisik, ya! Udah kemalaman ini."

Kedua laki-laki dengan fisik yang sama itu mengangguk kecil pertanda paham. Bu Rukiah tersenyum melihat mereka berdua. Mereka sungguh mirip, dari fisiknya, bahkan sampai kelakuannya pun bisa dibilang mirip.

Setelah berpamitan, wanita paruh baya itupun resmi pergi dari ruang tamu tersebut. Dan kini, hanya Marka dan Arsel yang tertinggal di sana. Tak ada suara apapun selain detik jam di dalam ruangan. Arsel sesekali melirik Marka yang tampak biasa saja. Padahal dia sudah sangat tak tahan dengan suasana canggung ini.

"Eum-" ucap meraka bersamaan, dan kemudian berhenti bersamaan juga.

"Lo duluan aja." Lagi-lagi ucapan mereka bersamaan. Bahkan diiringi dengan lirikan mata yang sama.

Keduanya kini sama-sama berdehem. Menunggu seseorang memulai pembicaraan tanpa di suruh, dan baiklah. Mungkin Arsel yang akan bicara duluan.

"Gue kabur dari rumah."

Marka mengangguk paham. "Gue nggak bakal nanya alasannya. Tapi, Lo besok harus lomba. Harus istirahat biar nggak mengecewakan tim Lo."

"Kalau itu gue tau. Tapi gue tetep gak bisa pulang sih. Ada masalah serius. Dan, tolong izinin gue nginep di sini." Katakan saja Arsel tidak tahu diri.

"Buat berapa malam?"

"Ya, setelah masalah ini kelar."

Tak ada jawaban lagi dari Marka. Laki-laki itu kemudian bangun dari duduknya dan pergi ke dapur, meninggalkan Arsel yang terheran-heran di atas sofa.

Ini dia ngizinin gue nginep apa kagak??? Batin Arsel sedikit khawatir.

Sebenarnya, kalau saja ia bawa dompet, ia tak harus khawatir dengan tempat tinggal. Bisa saja ia sewa hotel atau apapun itu. Tapi, yang ada pada dirinya sekarang hanya pakaian dan satu ponsel yang bahkan sudah mati sedari tadi karena baterainya habis.

"Makan dulu!"

Arsel terkejut saat melihat sepiring nasi dengan lauk ala kadar, serta segelas air putih yang dibawa Marka ke hadapannya.

"Lo pucat banget," lanjut Marka yang kemudian duduk kembali di atas sofa.

"Jadi, lo ngizinin gue nginep di sini?"

MarSel [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang