Libur semester dimulai hari ini, dan akan berkahir dua Minggu lagi. Arsel, yang kini menjadi Marka tentunya tersenyum penuh kemenangan. Akhirnya ia bisa tinggal di panti menggantikan Marka, dan Marka tinggal di rumahnya.
Untuk sementara, tentu saja tak ada yang tahu. Semuanya berjalan normal. Bahkan mereka mengobrol biasa dengan Arsel tanpa menaruh curiga sedikitpun.
"Kak Marka! Tolong rangkum materi semester depan dong buat Nufus! Soalnya rangkuman Kak Marka waktu itu membantu banget."
Namun, tentu saja tidak akan mudah. Awal yang normal menjadi kacau saat Nufus muncul dengan senyuman manis, sembari membawa buku tebal miliknya.
Sialan banget! Gue mana ngerti pelajaran. Batin Arsel tak tenang. Walau berbanding terbalik dengan wajah datar yang sering Marka tunjukkan.
"Oke, besok Kak Marka kasih balik," jawab Arsel. Ia kemudian mengambil buku tebal milik Nufus dan membawanya ke dalam kamar Marka.
"Biasanya Nufus sering minta rangkuman buat dia belajar. Apalagi ini udah mau pergantian semester."
Arsel yang masih tak mengerti dengan perkataan Marka, memandang Marka bingung. "Ya, terus?"
"Besok dia pasti bakal minta rangkuman materi buat semester selanjutnya, dan Lo harus rangkum itu."
"Kenapa gue? Otak gue udang banget, Ka! Gue gak bisa!"
"Gue bakal kasih tau mana yang penting, terus Lo rangkum aja menyesuaikan," jelas Marka sembari terus menulis tentangnya di atas kertas selembar seperti permintaan Arsel.
"Tapi ... tulisan kita pasti beda. Apa gak curiga tu anak?" Arsel masih mengelak. Ia tak mau menulis rangkuman untuk orang lain. Ya untuk dirinya saja ia tak pernah merangkum apapun. Kenapa untuk orang lain ia harus? Pokoknya dia tidak mau!
Marka mengambil lembaran kertas yang Arsel berikan untuknya tadi. Ia menyodorkan kertas tersebut kepada Arsel, tak lupa juga kertas yang berisikan tulisannya.
"Buat apa?"
"Lihat aja!"
Arsel berdecak kesal. Ia kemudian menatap lekat kedua lembar kertas tersebut. "Kok bisa mirip?"
Marka hanya menaikkan kedua bahunya acuh tak acuh.
Sekarang Arsel berada di dalam kamar Marka sembari meratapi nasibnya. Ini memang ide nya sih untuk bertukar identitas. Akan tetapi, menjadi Marka tentu tidak mudah juga. Apalagi mengingat perbedaan kapasitas otak mereka seperti langit dan bumi.
"Gue harus nulis ini seharian gitu? Si Marka hidupnya boring banget, ceunah!" omel laki-laki itu kesal. Namun, ia menurunkan nada suaranya agar tak ada yang mendengar hal barusan.
"Kira-kira dia bisa hidup sebagai gue gak di sana? Pasti nggak sih ya. Secara gue 'kan keren, baik hati dan gak sombong. Dia pasti gak bisa."
Tok ... Tok ... Tok!
Arsel yang sedang asik merangkum materi pun menoleh ke arah pintu. Ia buru-buru mematikan voice note yang Marka kirim.
"Siapa?" tanyanya santai.
"Hozio, Ka."
"Kalau ada yang ngetuk pintu kamar, Lo nanya dulu siapa."
"Kenapa?"
"Ya, karena gue biasanya gitu."
Arsel menatap Marka dengan tatapan protes. "Males banget anjir, gue mah langsung buka."
KAMU SEDANG MEMBACA
MarSel [END]
Fiksi RemajaPertemuan 'tak terduga antara kedua remaja laki-laki itu membawa banyak perubahan dalam kehidupan mereka. Marka menolak fakta bahwa Arsel adalah kembarannya. Bertemu setelah 17 tahun harusnya membuat mereka terharu dan saling merangkul, tetapi tida...