✧33 | Akan Segera Dimulai✧

1.1K 105 11
                                    

Jimmy duduk menatap pemandangan malam kota Jakarta dari balkonnya. Sembari meminum wine dengan perlahan. Matanya menyiratkan kesedihan serta kesepian yang mendalam.

Sebuah pesan mengganggu ketenangannya. Pria itu memeriksa ponsel mahal tersebut dengan cepat. Namun, ekspresi wajahnya perlahan berubah masam.

+62xxxxx

Hi, Jim |

How are you? |

Udah lupain masa lalu? Atau malah masih terbayang-bayang? |

Jangan lupain aku! Kita dulu pernah jadi sepasang kekasih, walau cuma buat bikin seseorang cemburu, haha |

Anak-anaknya pasti lagi bingung sekarang. Mereka lagi nyari jati diri yang udah diacak-acak orang tua mereka. Kasihan, ya |

Tangan Jimmy sedikit berkeringat. Jantungnya berpompa kencang karena panik.

Aku tahu semuanya. Aku nggak pernah jauh-jauh dari kalian bertujuh. Eh, berempat deh, yang tiganya kan udah gak ada🙏 |

Tanpa harus aku turun tangan kayak dulu lagi, hidup kalian bisa dibilang diambang kehancuran juga, ya. Karma itu beneran adanya lho |

Aku malah spam. Maaf deh. |

By the way |

Welcome back, Sayang |

***

Suasana di markas YoungTeam terlihat lebih ramai. Apalagi saat Sindi juga ikut bergabung menyelesaikan masalah yang tidak ada habisnya ini.

Ya, tampaknya ia juga harus bergabung sih. Namanya juga merupakan nama yang sama dengan nama korban dari kebakaran Laboratorium IPA Odette School dahulu. Namun ia sedikit ragu, nama sepertinya itu 'kan lumayan pasaran. Tetapi ya sudahlah, dia sudah terlanjur ikut campur.

"Lo cuma nemuin ini, Ka. Tentang bunda sama yang lainnya dimana?"

"Enggak ada. Kita udah nyari ke semua tempat, kecuali ruang data yang emang dilarang masuk."

Arsel merebahkan dirinya di atas lantai. Sofa telah penuh oleh anggota yang lain, jadi dia terpaksa tidur di lantai yang bisa dibilang lumayan bersih. Ya berkat Sakura yang selalu bersih-bersih tanpa skip satu hari pun.

"Kalau kita berhasil nemuin siapa pelakunya. Ada besar kemungkinan kita bakal tahu siapa sebenarnya bunda dan ayah kamu serta teman-temannya yang lain. Dan setelah kita tahu itu, orang tua kandung kita juga akan terbongkar."

Arsel tidak merespon perkataan Marka. Ia hanya diam sembari menutup matanya. Entah kenapa, ia ingin berhenti untuk mencari tahu. Semakin banyak kenyataan terbongkar, semakin banyak hal-hal yang mereka tahu, semakin menyakitkan juga rasanya.

Tapi ... jika sudah sejauh ini. Ia tidak mungkin menyerah lagi.

"Ikuti aja kata hati Lo, Sel. Kalau Lo nyerah, gue juga bakal nyerah," ucap Marka yang kini juga ikut merebahkan diri di samping Arsel.

Mereka menatap langit-langit markas yang tampak bersih. Dengan napas berat yang mungkin semua orang di markas dapat mendengarnya.

"Enggak deh. Kalau nyerah sekarang rasanya nanggung banget."

Manalu yang awalnya sedang asik kejar-kejaran dengan Laskar serta Natalia kini mendekati kedua orang tersebut. Pemuda itu tersenyum kecil sembari membawa dua buah apel yang tadi ia curi dari Laskar.

"Ini ambil!" Lemparnya.

"Woi Manalu nggak punya otak! Itu 'kan apel gue!" teriak Laskar tak terima. Padahal ia sudah sangat senang mendapatkan apel pemberian seseorang tadi pagi.

Marka dan Arsel tertawa ngakak. Namun mereka tidak berniat mengembalikan apel tersebut. Justru Arsel dengan cepat memakannya, membuat Laskar terduduk pasrah.

"Pokoknya gue sakit hati!"

"Itu karma, blok! Lo kemarin juga ikut-ikutan mereka nyuri nasi goreng gue." Genta akhirnya puas. Tanpa ia yang harus membalas langsung, takdir yang membuktikannya.

"Maaf, Gen. Gak lagi-lagi gue mah."

"Bodoamat."

Manalu tertawa keras. "Lagian apa istimewanya apel sih? Beli lagi sono! Kayak gak punya duit aja Lo."

"Heh jembutnya tuyul! Apel itu istimewa pakek banget, ye!!! Lo aja gak tau siapa yang kasih. Kalau tau pasti bakal terjungkal, tertampar dan tergila-gila."

Sindi menghela napas panjang. Ternyata YoungTeam tidak se-elit yang ia pikirkan dulu. Dipenuhi dengan anak-anak SMA yang labilnya sama saja seperti kebanyakan anak SMA lain. Bagaimana bisa mereka akan sanggup melawan Universe jika mereka seperti ini?

"Emang siapa yang ngasih, Kar?" tanya Marka sembari terus melahap apel yang Manalu berikan. Santai sekali, membuat Laskar ingin menangis saja.

Kok bisa se-nggak merasa bersalah gitu sih? batin Laskar tak habis pikir.

"Vokalis band gue," jawab Laskar kemudian.

"Lah, Lo punya band?" tanya semua orang kaget.

Bukan apa-apa sih. Laskar awalnya tidak berniat membentuk band karena lebih suka bernyanyi solo. Kenapa tiba-tiba, dan tanpa pemberitahuan seperti ini? Pemuda itu hanya bergabung dengan band sekolah, dan itupun untuk kegiatan ekstrakurikuler saja.

"Iya. Udah beberapa hari. Lagian kalian lagi sibuk-sibuknya, jadi gue milih diem aja."

"Kece, Kar," timpal Genta, bangga. Padahal tadi dia sempat marah-marah mengingat Laskar mencuri nasi gorengnya waktu itu.

"Gue bakal bantu promosiin deh," ujar Sindi yang sedang asik membersihkan kukunya.

Laskar yang awalnya tidak semangat, kini bangun dan mendekati Sindi.

"Beneran?"

"Iya," jawab Sindi malas.

***

Marka kembali ke panti asuhan setelah sekian lama. Eum, seminggu lebih mungkin? Ia kemudian menapakkan kaki di atas lantai panti yang dingin. Keramik merah bata itu sungguh sangat ia rindukan untuk sekarang.

"Kak Malka! Dua hari ini kok kak Malka gak pulang?" tanya Miya saat melihat Marka memasuki ruang keluarga panti. Mereka semua sedang asik menonton televisi. Namun saat Marka pulang, atensi mereka jadi teralihkan.

Marka tersenyum hangat. Miya ternyata tidak tahu kalau selama ini yang menjadi Marka adalah Arsel. Tetapi bagus lah, ia tidak tahu harus menjelaskan apa jika saja gadis kecil ini tahu semuanya.

"Kak Marka tidur di rumah kak Weren. Miya nggak usah khawatir, ya," ujar Marka dengan nada lembut. Ia mencolek hidup Miya yang kecil itu gemas.

"Miya kangen banget sama Lo, Ka. Sampe nangis selama dua malam ini. Katanya Lo nggak sayang lagi ke dia. Padahal ada gue."

Hozio bermuka masam. Ia sedikit cemburu Miya lebih suka bersama Marka dibandingkan dengannya. Padahal dia juga Abang yang baik untuk Miya.

"Ya soalnya Miya suka yang ganteng-ganteng, bukan yang cantik kayak Kak Jingga!"

Marka tertawa kecil. Ya, Hozio memang cowok berwajah cantik. Semua orang tahu itu. Tetapi kok Miya jujur sekali sih. Yah, tidak heran, dia masih anak kecil.

"Kata Kak Nufus, Kak Hozio seharusnya jadi cewek kayak Miya. Tapi entah kenapa pas keluar jadi cowok."

Muka Hozio memerah. Entah karena malu atau karena marah kepada Nufus yang mengajarkan ajaran sesat untuk anak polos seperti Miya.

"Nufus!"

"Hehe, maaf, Kak."

MarSel [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang