Kali Kedua - 23

20.2K 1.4K 23
                                    

Hari libur telah berlalu. Saatnya kembali ke rutinitas harian. Barra yang tidak ingin terlalu terlarut dalam permasalahannya pun memutuskan untuk bekerja seperti biasa. Sebab jika ia tetap memilih berada di apartemen, hal tersebut hanya akan membuat dirinya terus memikirkan permasalahannya. Akan terus membuat dirinya bersedih. Lebih baik ia menyibukkan diri dengan pekerjaan dan berusaha mengalihkan pikiran.

Setelah menyelesaikan praktek di rumah sakit. Kini Barra baru saja menyelesaikan prakteknya di klinik. Ia berjalan keluar dari ruang pemeriksaan lalu melewati ruang pemeriksaan Ryan yang terlihat masih menangani pasien. Namun, sepertinya pria itu sedang memeriksa pasien terakhirnya sebab sudah tak terlihat lagi pasien anak lain yang berada di ruang tunggu.

Barra menaiki anak tangga menuju lantai dua. Ia berniat untuk langsung ke ruangan. Berganti baju kemudian pulang. Barra sedang tidak berkeinginan untuk memesan makan malam terlebih dulu atau pun untuk sekedar mengobrol singkat dengan Ryan. Mungkin ia akan menceritakan semuanya pada Ryan tetapi tidak saat ini. Barra masih belum ingin bercerita banyak pada siapa pun.

Namun, sepertinya semua yang sudah ia rangkai hanya tinggal rencana sebab begitu ia berada di lantai dua matanya menemukan seseorang yang ia kenal sedang duduk di sofa. Seorang pria berkemeja yang terlihat sedang mengutak-ngatik ponsel dan menoleh begitu menyadari kehadirannya. Alan—abang iparnya. Barra tidak tahu apakah sebelumnya Alan mengabari kalau ingin datang atau tidak. Sebab ponsel Barra memang tidak aktif sejak tadi.

Alan tersenyum begitu tatapannya bertemu dengan Barra. Begitu melihat adik iparnya itu, ia seperti melihat Manda. Keadaan mereka sama. Terlihat kusut, tidak bersemangat, wajah suntuk dan tidak ada senyuman. Dan yang paling jelas tatapan matanya menyiratkan sebuah kesedihan. Kemudian Barra pun balas tersenyum tipis, tanpa harus bertanya ia sudah bisa menebak apa maksud kedatangan abang iparnya.

Terlebih dulu Barra ke ruangan, mengambil minuman kaleng di lemari pendingin. Setelahnya ia kembali dan meletakkan minuman kaleng tersebut di hadapan Alan lalu duduk di sofa satunya. "Nunggu lama ya, bang?"

"Lima belas menit aja. Tadi katanya kamu masih ada pasien, makanya suruh nunggu di sini."

Kepala Barra mengangguk paham. "Dari rumah sakit?"

"Iya. Terus langsung aja ke sini."

Suasana hening diantara mereka, keduanya seakan sibuk dengan pikiran masing-masing. Alan mengambil minuman kaleng dan membuka segel penutup saat Barra bertanya. "Manda gimana keadaannya?"

Alan yang sudah meneguk sedikit minumannya kembali meletakkan di meja. "Sama seperti kamu." Ia menjeda ucapannya sejenak. "... Abang ke sini cuma mau menyampaikan pesan Manda. Dia tetap pada keputusannya."

Barra terdiam, tidak langsung menanggapi. "Maksudnya pisah? Kenapa Manda enggak bilang sendiri ke aku?"

"Dia belum siap ketemu kamu."

Barra terdiam lagi sebelum akhirnya menjawab. "Aku akan tetap pertahankan pernikahan ini."

"Walaupun tante Lita minta kalian bercerai?" Tak ada jawaban dari Barra karena ia sendiri bingung harus menjawab apa. "Mungkin kamu punya alasan kuat kenapa ingin mempertahankan pernikahan ini. Abang juga enggak akan minta kalian untuk cerai. Tapi jika memang dilanjutkan, bagaimana dengan Manda? Bukannya tante Lita sendiri yang bilang kalau tidak bisa menerima Manda sebagai menantu lagi?"

Kemudian Alan kembali melanjutkan kalimatnya. "... Kamu juga harus memikirkan hal itu. Pasti tidak akan mudah untuk kalian melanjutkan pernikahan tanpa restu dari tante Lita."

"Tapi aku enggak bisa pisah dengan Manda."

Alan menatap Barra. "Setulus itu perasaan kamu ke Manda?"

Pria itu terdiam. Kemudian keduanya menoleh bersamaan begitu terlihat Ryan yang baru saja menginjakkan kaki di lantai dua. Alan melirik jam tangan. "Udah malam. Abang harus pulang. Kamu pikirkan semuanya baik-baik." Ia menepuk sebelah bahu Barra sebelum beranjak dari sofa.

Kali Kedua [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang