Manda baru saja keluar dari kamar mandi setelah menggosok gigi sebelum tidur. Ia naik ke ranjang dimana terlihat suaminya yang sudah berada di sisi ranjang satunya. Matanya fokus menatap ipad yang berada di tangan. Gadis itu mengambil ponsel miliknya, memeriksa beberapa chat yang masuk. Kemudian setelah memastikan tidak ada yang penting, Manda memilih merebahkan tubuh.
Dengan posisi menyamping menghadap suaminya, Manda memperhatikan pria itu yang masih serius menatap layar ipad. Entah apa yang sedang dibaca sehingga terlihat begitu fokus. Benak Manda kembali dipenuhi oleh kenyataan kalau saat ia dan Barra sudah kembali bersama. Namun, sampai dengan saat ini ada satu hal yang mengganjal di hati Manda. Ia ingin sekali menanyakannya pada Barra tetapi juga takut kecewa mendengar jawabannya. Namun, ia pun tidak akan tahu jika memang tidak bertanya.
"Mas."
"Ya?" Tatapannya terus tertuju pada ipad. Tak ada tanggapan dari istrinya membuat Barra menoleh. "Kenapa?"
Mata Manda balas menatap Barra. "Kita kan udah bareng lagi. Terus mama gimana?"
Seulas senyuman tipis terukir di wajah Barra. Ia mematikan ipad lalu meletakkannya di nakas. Setelahnya ia ikut merebahkan diri dan menghadap Manda. "Pelan-pelan, ya, kita pasti bisa luluhin hati mama."
Jawaban Barra sudah membuat Manda paham dan mengetahui semuanya. Sudah pasti mama mertuanya masih belum bisa menerima dirinya kembali sebagai menantu. Mama Lita masih belum bisa memaafkannya. Dan sudah pasti Barra melakukan ini semua tanpa persetujuan dari mamanya. Jawaban seperti ini yang membuat Manda sedih dan terus menahan diri untuk tidak menanyakan hal tersebut. Namun, ia terus merasa penasaran.
Kemudian Barra kembali melanjutkan kalimatnya. Ia menceritakan bagaimana pertemuan terakhirnya dengan kedua orang tuanya sebelum bertemu dengan Manda. Benar saja, kan, dugaan Manda hanya papa Budiatma yang menyetujui keputusan Barra. "... Kita harus terus berusaha untuk bisa meluluhkan hati mama."
Kepala Manda mengangguk mengiyakan. Keduanya memiliki tugas besar untuk dapat meluluhkan hati mama Lita. Pastinya tidak akan mudah tetapi mereka tidak akan menyerah. Barra yakin kalau suatu saat nanti mamanya pasti dapat menerima Manda sebagai menantunya lagi. Entah kapan, tetapi ia sangat yakin dengan hal itu.
"Papa bilang kamu ke yayasan. Kapan?"
"Satu hari setelah mama Heni ulang tahun. Kamu masih di Lombok kayaknya. Sebenarnya dari sebelumnya aku udah kepikiran mau ketemu papa tapi takut kalo papa juga enggak mau ketemu aku. Akhirnya aku terus nahan diri untuk enggak ketemu papa tapi malah terus kepikiran."
Manda kembali melanjutkan ucapannya saat tangan Barra bergerak menyelipkan juntaian rambutnya ke belakang telinga. "... Akhirnya aku ke yayasan. Udah pasrah kalo emang papa enggak mau ketemu aku, yaudah. Tapi ternyata papa mau ketemu aku dan mau maafin aku juga. Nangis deh aku nya."
Barra tersenyum mendengar kalimat terakhir Manda. "Mama juga pasti bisa maafin kamu. Kalo misalnya—besok kita ke rumah mama, gimana?"
Mata Manda menatap Barra, ia nampak berpikir. Bayangan dirinya saat diusir mama Lita kembali memenuhi benaknya. Semua itu masih terekam jelas diingatan Manda. Terlebih saat kalimat-kalimat ketus yang diucapkan mama Lita kembali terngiang-ngiang di telinganya. Manda takut kalau akan kembali mengalami hal tersebut. Namun, ia juga tahu kalau Barra tidak akan memaksanya
"Sama kamu, kan?" Barra mengangguk. "Iya, aku mau."
"Beneran? Aku enggak maksa. Kalo memang kamu belum siap, bisa lain waktu."
Manda mengambil tangan Barra di sebelah pipinya. "Semakin cepat semakin baik, kan. Kalau aku terus diam dan takut ketemu mama, kapan mama mau maafin aku. Aku enggak mau kayak gini terus."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kali Kedua [Completed]
ChickLitDewangga Barra; dokter gigi. Putra sulung dari keluarga Budiatma. Memiliki tubuh tinggi, bola mata kecoklatan, alis tebal, hidung mancung, rahang tegas dengan brewok tipis. Senyumnya manis yang mampu memikat banyak perempuan. Amanda Ayudita; pegawai...