"Udah. Udah, Mas."
Suara gelak tawa Manda memenuhi kamar saat Barra terus menelusupkan wajah ke ceruk lehernya kemudian mengusel-nguselkan wajah di sana. Tangan Manda berusaha menjauhkan wajah suaminya tetapi tangan Barra justru terus melingkari pinggang Manda, menahannya untuk menjauh. Serangan balik yang akan dilakukan Manda adalah menggelitiki pinggang Barra sampai pria itu tertawa terbahak-bahak dan meminta Manda untuk berhenti.
Kira-kira seperti itu yang mereka lakukan saat pagi menjelang siang disaat hari libur seperti ini. Mereka tidak memiliki rencana untuk keluar rumah. Setelah sarapan tadi, Barra mengatakan ingin tidur kembali. Begitu selesai mencuci piring, Manda yang tidak tahu harus melakukan apa pun menyusul suaminya. Niatan Barra untuk tidur pum batal yang kemudian membuat mereka saling bercanda di atas ranjang yang sudah kusut karena ulah mereka.
Tangan Barra mendekap erat tubuh Manda seakan enggan melepaskan. Ia menenggelamkan wajah pada rambut hitam istrinya. "Kamu bahagia enggak sama aku?"
Sambil menyusuri brewok tipis suaminya, Manda menjawab. "Bahagia lah. Kenapa juga aku harus enggak bahagia disaat bersama kamu?"
Barra tersenyum. "Jadi mulai kapan kamu suka sama aku?"
"Aku juga enggak tahu pasti mulai kapan. Kalo kamu, pasti dari kecil udah suka aku, kan?" Ia menahan senyuman.
Pria itu semakin mengetatkan pelukan. "Enggak penting sejak kapan aku suka kamu, yang jelas aku cinta sama kamu."
Manda tersenyum. "Kamu bahagia?"
"Pasti lah. Bahagia banget. Karena aku sama kamu."
Istrinya itu kembali tertawa lalu memeluk leher suaminya. "Sayang Mas Dewangga Barra pokoknya." Ia mengakhiri ucapan dengan mencium pipi Barra.
Senyuman terukir di wajah Barra lalu pria itu pun menghujani pipi Manda dengan kecupan membuat gadis itu kembali tertawa. Bersamaan dengan itu ponsel milik Barra berdering nyaring. Pria itu sedikit membalikkan badan lalu mengulurkan tangan mengambil ponsel di nakas. Manda yang masih berada dalam dekapan suaminya dapat melihat nama Elang di layar ponsel sebagai si penelepon.
***
Setengah jam kemudian, Manda membawa nampan dengan tiga gelas orange juice di atasnya. Ada juga dua toples cookies. Ia berjalan ke ruang tamu lalu meletakkan tiga gelas orange juice tersebut di meja. Tak lupa juga dengan dua toples cookies-nya. Namun, saat ia meletakkan satu toples yang terakhir, Barra langsung mengambil toples cookies tersebut. Manda pun langsung menoleh menatap suaminya.
"Ini cookies aku. Nanti habis kalo dikasih mereka."
Ryan berdecak. Sementara Elang hanya tersenyum sambil terus memperhatikan Barra. "Cookies doang. Pelit banget lo. Nanti bisa beli lagi." Ucap Ryan.
"Cookies ini enggak dijual, ya. Manda yang buat."
"Pantesan." Sahut Elang masih dengan senyuman di wajah.
Sebelum Manda menanggapi ucapan suaminya sudah terdengar seseorang mengucapkan salam. Sontak mereka semua pun menjawab salam seraya menoleh ke pintu utama. Terlihat seorang perempuan dengan blue jeans dan kaus putih polos berdiri di ambang pintu dengan sebelah tangan yang menenteng beberapa box pizza. Senyuman terpatri di wajahnya. Namun, senyuman itu perlahan memudar begitu tatapan matanya beradu dengan sepasang mata coklat yang tak lepas memandangnya sejak tadi.
Ginna. Perempuan itu yang kini sedang beradu tatap dengan Elang. Pria yang ingin sekali ia hindari. Bagaimana mungkin ia berada di Jakarta? Bukan kah ia tinggal di Malang? Sungguh. Ginna sama sekali tidak mengetahui kalau ada Elang diantara mereka. Saat Ryan meneleponnnya tadi, pria itu hanya mengajaknya untuk ke rumah Barra. Berhubung mereka pun belum pernah datang ke rumah baru sahabatnya. Ginna pun langsung menyetujui tanpa pernah berpikir akan ada Elang di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kali Kedua [Completed]
Literatura KobiecaDewangga Barra; dokter gigi. Putra sulung dari keluarga Budiatma. Memiliki tubuh tinggi, bola mata kecoklatan, alis tebal, hidung mancung, rahang tegas dengan brewok tipis. Senyumnya manis yang mampu memikat banyak perempuan. Amanda Ayudita; pegawai...