Kali Kedua - 42

19.8K 1.4K 13
                                    

Barra yang sudah selesai menangani pasien terlihat sedang mengistirahatkan tubuh di sofa yang berada di depan ruangan. Di tangannya terdapat sebuah ponsel yang sedang ia gunakan untuk berbalas chat dengan sang istri tercinta. Sekitar satu jam yang lalu Manda mengirim chat yang mengatakan kalau ia akan pergi ke mall sepulang kantor; ada sesuatu yang ingin dibeli. Barra pun mengiyakan dan mengatakan akan menjemputnya setelah dari klinik nanti.

Pria itu menoleh begitu menyadari kehadiran Ryan yang baru saja selesai menangani pasien ciliknya. Ryan melepaskan masker yang menutupi mulut dan hidung lalu menghempaskan tubuh di sofa single. Ia menghela nafas melepas lelah melalui mulut seraya mendongakkan kepala ke atas dengan mata terpejam dan kedua tangan yang berada di lengan sofa. Barra meliriknya kemudian meletakkan ponsel di meja.

"Yan."

Masih dengan posisi yang sama, Ryan menjawab. "Hm?"

"Ram's Architecture udah hubungin lo?" Ia menyebut sebuah firma arsitektur yang akan mengurusi pembangunan klinik mereka.

Mata Ryan terbuka lalu ia mengangkat kepala. "Udah. Mereka bilang besok siang meeting untuk bahas desain sama yang lainnya."

Kepala Barra mengangguk paham. Setelahnya terlihat Ryan yang merogoh saku, mengeluarkan ponsel. Jemari tangannya bergerak lincah seperti sedang membalas chat seseorang. Barra yang masih memperhatikan sahabatnya seketika teringat sesuatu. Sesuatu yang seharusnya sudah ia tanyakan sejak kemarin tetapi Barra malah lupa dengan hal tersebut. Mungkin ini saat yang tepat untuk menginterogasi Ryan.

"Lo sama Luna gimana?"

Ryan menoleh pada Barra sekilas. "Lost contact. Gue juga enggak berusaha cari tahu dia gimana." Jawabnya sambil terus sibuk dengan ponsel.

"Kemarin gue lihat lo di pasta king."

"Iya, kemarin gue emang ke sa—" Ucapan Ryan terhenti lalu menatap Barra. "Lo lihat gue di pasta king?"

Barra tertawa begitu melihat ekspresi wajah kaget Ryan. Kesal dengan Barra yang terus tertawa, Ryan melempar sahabatnya itu dengan bantal sofa. "Woy, santai, dong. Kok lo panik?"

"Kampret. Lo beneran lihat gue di sana?"

"Siapa tuh cewek? Cepat ya lo move on dari Luna."

Senyuman terukir di wajah Ryan sembari meletakkan ponsel di meja. "Teman. Namanya Almira—dia temannya teman gue."

"Semua kan memang berawal dari teman. Udah sering jalan?"

"Enggak. Baru sekali itu aja."

"Terus sejauh ini gimana? Nyaman?"

Ryan terlihat berpikir sejenak sebelum menjawab. "Nyaman-nyaman aja, sih. Anaknya juga asik."

"Yaudah tunggu apa lagi. Langsung gas dong."

"Enggak secepat itu juga, lah. Masih proses."

"Tapi lo enggak jadiin dia pelarian, kan?"

"Ya, enggak lah. Yang benar aja lo."

"Takutnya gitu. Gue cuma tanya doang."

"Gadis baik-baik, enggak mungkin lah gue berani nyakitin."

Kemudian terdengar suara dentingan yang berasal dari ponsel Ryan yang tergeletak di meja. Barra melirik ponsel tersebut bersamaan dengan Ryan yang langsung menyambar benda pipih miliknya. Entah kenapa Barra yakin kalau chat yang baru diterima Ryan pasti berasal dari Almira. Ia masih belum bisa berkesimpulan apakah Ryan menyukai gadis bernama Almira itu atau tidak. Namun, Barra selalu mengharapkan yang terbaik untuk sahabatnya. Entah dengan Almira atau pun bukan.

Kali Kedua [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang