05

307 16 0
                                    

Sudah beberapa hari berlalu semenjak kejadian malam itu di klinik. Aku sudah melupakannya, aku pikir pun begitu juga dengan David. Pria itu kembali sibuk dengan pekerjaannya dan aku kembali sibuk dengan pekerjaanku di rumah sakit.

Meskipun tinggal satu rumah, kami memang tidak sering bertemu. Begitu juga denganku dan papa. Pria itu sibuk dengan pekerjaannya, dan jarang di rumah. Akhir-akhir ini mama juga jarang di rumah karena mengurusi bukunya yang akan terbit. Biasanya mama akan sibuk dengan bagian editor untuk membahas beberapa hal tentang naskah.

"Pak Agus, Davidnya belum datang?!" aku berseru pada Agus—sopirku sekaligus tukang kebun di rumahku. Pria berbadan kecil, berusia lebih dari setengah abad itu sibuk mencuci mobil range rover hitam milik David.

Aku baru saja keluar dari dalam mobil, setelah hampir seharian di rumah sakit. Hari ini aku memang sengaja tidak membuka klinik, sebab nanti malam harus kembali ke rumah sakit. Salah satu partner kerjaku tidak masuk kerja karena bertunangan, dan aku disuruh untuk menggantikannya sampai besok pagi.

"Baru aja datang non. Tuh diatas. Tadi katanya kepalanya pusing gitu." Sahut Pak Agus sambil terus menyiram mobil itu dengan selang yang ia pegang. Aku lihat pak Agus begitu bersemangat melakukan tugasnya. Entah sudah berapa kali kanebo yang dipegangnya itu digosok-gosokkannya pada permukaaan mobil tersebut.

"Pusing kenapa pak?" tanyaku mengerutkan kening. Apa David sakit? Aneh.

David adalah manusia yang paling jarang sakit.

"Sakit kali non." Sahut pak Agus lagi.

Tanpa menunggu kalimat pak Agus selanjutnya, aku segera bergegas masuk ke dalam rumah. Menaiki tangga dengan setengah berlari, kemudian masuk ke dalam kamarnya yang tidak terkunci. Aku selalu khawatir dengan keadaan David. Apalagi tiap ia pulang dengan wajah penuh luka seperti kemarin-kemarin.

Selalu saja, bau maskulin langsung menyambar hidungku ketika kakiku melangkah masuk ke dalam kamarnya. Pria itu memiliki aroma yang enak, dan aku betah sekali dengan wangi khasnya.

"David...." panggilku pelan. Mataku tertuju padanya yang berada di atas kasur dan berbalut selimut. Ia tertidur dengan posisi miring, membelakangi pintu.

Tak ada jawaban.

"Kamu sakit?" aku berjalan mendekatinya. Sekilas tatapanku tertuju pada pintu loteng kaca yang tak tertutup itu. Angin sore memainkan dream cathcer yang terpasang di atasnya. Aku tersenyum, rupanya David memasang barang pemberianku itu di kamarnya. Padahal waktu itu ia mengatakan tidak menyukainya.

Aku berjongkok di depan David. Pria itu terlihat memejamkan mata. Namun giginya semenjak tadi bergemeletuk. Dengan selimut yang hampir menutupi seluruh tubuhnya, aku tahu apa yang sedang terjadi dengannya.

Tanganku terulur, berniat memegang dahinya dengan punggung tanganku. Namun ketika tanganku baru saja sampai, ia sudah menapiknya.

Aku tidak begitu terkejut. David akan selalu memberikan respon seperti itu ketika ia disentuh oleh seseorang. Seperti sentuhan orang tanpa ia minta adalah sebuah ancaman baginya.

"Alinea....." suaranya lirih mengerang. Matanya yang sayu sedikit terbuka.

"Kamu sakit?" tanyanku.

Ia hanya melenguh, bergerak-gerak sedikit untuk membenarkan letak selimutnya yang turun.

"Kenapa kamu pulang? Bagaimana klinik? Apa seseorang mengancammu lagi?"

Aku memutar bola mata malas. Ia selalu tak menjawab pertanyaan dengan benar dan justru melemparkan pertanyaan lain untukku. Seolah keadaannya selalu tidak penting, dan aku pasti akan menjadi prioritas utama.

MetanoiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang