16

226 13 0
                                    

Aku terbangun ketika sinar matahari pagi menembus jendela dan menimpa kulitku. Rasanya sangat hangat, hanya saja silaunya menganggangu tidurku. Sekejap aku menyadari bahwa saat ini aku tidak berada di rumah. Ya, suara debur ombak itu menyadarkanku sekaligus mengingatkanku akan kejadian yang terjadi semalam antara aku dengan David.

Senyumku merekah, antara malu dan juga tidak percaya. Ku tatap kemeja putih yang masih menempel di tubuhku. David menepati janjinya untuk tidak melakukan hal yang lebih daripada ciuman. Aku memang belum melepas keperawananku pada siapapun. Bahkan pada Evan. Pria itu juga cukup mengerti dengan prinsipku. Hidup di tengah manusia dengan pemikiran modern dan terbuka tidak lantas membuatku berjiwa bebas. Aku sangat tau batasan. Meskipun melepas keperawanan sebelum menikah adalah hal lumrah di luar negeri atau bahkan di negeriku sendiri, yang jelas aku hanya ingin mahkota berhargaku ini bisa ku berikan pada suamiku nanti.

"Sudah bangun?" suara David mengaburkan monolog di kepalaku.

Aku menoleh, dan ia sudah berdiri di depan pintu. Aku tidak tahu kapan ia membuka pintu. Mungkin tadi, ketika aku masih melamun.

"Baru saja." Mataku mengekor langkahnya. Ia terlihat sudah rapi dengan celana jeans belel hitam dan kaos berwarna senada. Rambutnya pun sudah tersisir dengan rapi. Aroma musk tercium di hidungku ketika ia semakin mendekat ke arahku.

"Kenapa kamu sudah sangat rapi?" aku menegakkan tubuhku dan bersandar pada tempat tidur. "Pukul berapa ini?"

"Pukul sembilan." David menatap arlojinya kemudian duduk di pinggiran kasur. "Bagaimana tidurmu semalam?" bibirnya tersungging senyuman. Ia jelas menggodaku, sebab ia juga tidur di sampingku semalaman dan memelukku. Hanya saja aku tidak tau kapan ia bangun. Namun David memang terbiasa bangun pagi, dan ia pasti juga melakukan hal demikian di sini.

"Bagun Alinea. Thomas sudah menyiapkan sarapan, dan setelah itu kita bisa berjalan-jalan di pantai." Ia berdiri dan membuka jendela kaca lebar-lebar. Angin pagi yang bertiup dari arah pantai menghempaskan gorden, membuatnya meliuk-liuk serta membawa aroma laut yang menyegarkan hidung.

Aku memejamkan mataku sesaat, merasakan aroma laut yang segar menusuk hidungku.

"Apa yang dimasak Thomas?" aku bangkit dari kasur lalu berjalan ke arahnya. Sama seeprti semalam, aku kembali memeluknya dari belakang. Sesuatu yang mungkin akan menjadi kebiasanku dengannya mulai hari ini.

"Dia hanya memasak nasi goreng." Sahutnya kemudian menarik tanganku agar berdiri di depannya. Dan kini posisi kita berbalik. David memelukku dari belakang.

"Apa kamu tidak memasak?" tanyaku sambil memainkan jemarinya yang melingkar di pinggangku.

"Mereka tidak akan pernah mengijinkanku." Jawabnya sambil mencium belakang telingaku.

"Kenapa?" aku menggeliat menahan geli yang tiba-tiba menyengat tubuhku.

"Mereka tidak ingin bos-nya menyentuh peralatan dapur." David berganti menciumi pucuk kepalaku. "Lagipula ketika aku bangun tadi, mereka sudah sibuk menyiapkan sarapan untuk kita."

Aku tertawa kecil. Lucu juga membayangkan Thomas dan teman-temannya sibuk di dapur dan memasakan menggunakan celemek. Padahal biasanya mereka akan terlihat dingin dan tak tersentuh dengan pakaian dan ekspresi wajah yang datar dan berkharisma.

Dav...." Panggilku kemudian. Ada sesuatu yang ingin ku tanyakan padanya.

David memperhatikanku.

"Bagaimana kamu mengenal Thomas dan yang lain?"

David tidak segera menjawab. "Mungkin karena kami memiliki nasib yang sama." Katanya beberapa saat kemudian.

"Tidak punya orang tua?" aku berbalik dan kini kami saling berhadapan.

MetanoiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang