25

106 10 0
                                    

David POV.

Aku mendengar suara bunyi ledakan pistol. Dan berjalan cepat menuju sumber suara itu di ruang tengah. Aku melihat nenek menangis sambil membekap mulutnya. Di depannya ada empat orang yang tergeletak di lantai dengan darah segar mengalir di lantai. Baunya tidak enak. Anyir sekali.

Mataku mengerjap. Sungguh di usia yang baru menginjak lima tahun, aku tidak mengerti dengan jelas apa yang terjadi. Mataku berkeliling, dan pandanganku berhenti pada seorang lelaki yang berdiri dengan tangan memegang pistol. Aku yakin pistol itu tadi yang meledak dan membangunkan tidurku. Pria itu terlihat tidak ramah. Wajahnya menyiratkan kebencian dan amarah. Sejujurnya aku takut. Aku takut jika ia mengarahkan pistol itu padaku dan menembakku.

Tak jauh darinya, berdiri seorang perempuan berambut pendek yang juga tengah menangis. Meskipun terlihat tak setakut nenek, namun wajahnya terlihat tegang. Ia menggigit bibir bawahnya dan air mata mengalir dari sudut matanya.

"Nenek!" aku berteriak, berlari ke arah nenekku yang langsung menaruh jari telunjuk di depan bibirnya. Mengisyaratkan padaku untuk tenang. Tangannya bergetar hebat, dan wajahnya sangat ketakutan. Jejak-jejak air mata terlihat jelas di kulit pipinya yang sudah mulai keriput.

"Kamu!" pria pemegang pistol itu menggertakku.

Aku berhenti dan menoleh bersamaan dengan suara tangisan seorang anak perempuan yang usianya jauh lebih muda dariku keluar dari dalam kamarnya.

Perempuan yang berambut pendek itu langsung meraih anak kecil tersebut dan menggendongnya. Berusaha untuk menenangkannya dari tangisan.

"Cup...cup...cup....tenang ya....." kata perempuan berambut pendek itu berusaha meredam tangis gadis kecil tersebut.

Mataku kembali mengerjap. Berusaha untuk menyatukan kepingan demi kepingan tragedi yang tengah berlangsung. Namun pikiranku buntu. Lagipula apa yang bisa dilakukan oleh seorang anak berusia lima tahun?

Saat tangisan itu belum mereda, aku melihat tubuh ayahku yang tergeletak di lantai bergerak-gerak. Ia merintih dan bangkit dengan pelan lalu merangkak dengan sisa-sisa tenaganya kemudian meraih salah satu kaki pria yang berdiri dengan angkuh tersebut.

"Jangan.....sentuh....anakku." suara ayah terdengar lemah dan terbata-bata. Ia terlihat meredam kesakitannya sampai matanya memerah dan urat di lehernya terlihat jelas.

"Kamu masih hidup rupanya!" pria itu mengarahkan pistolnya kepada ayah.

"Jangan sentuh anakku." Ia terdengar memohon.

"Kamu seharusnya memintaku untuk menyelamatkanmu!" teriak pria berpistol itu bengis.

Ayahku merintih. "Aku tau kau tetap akan membunuhku."

Pria berpistol itu menyeringai. "Tenanglah di surga temanku...."

Dhorrrr!!!

"Ayaaah!" aku berteriak dengan kencang. Membuka mataku dengan nafas menderu. Angin dingin menyapa tubuhku yang berkeringat hebat. Kepalaku langsung pusing mendadak.

"David!" seseorang tampak terkejut dan bangun dari sofa. Dalam remang malam, ia berlari ke arahku dengan tatapan cemas. "Apa yang terjadi denganmu?" ia duduk di pinggiran kasur sambil mengusap dahiku yang penuh dengan keringat.

Aku menarik nafas panjang. Hal yang terjadi tadi bukanlah mimpi, melainkan ingatan masa kecilku yang muncul dan sering menghantui tidur malamku.

"Kamu kenapa?!"

Aku menoleh padanya. Tercenung beberapa saat, dan mengucap syukur karena ia masih berada disini dan menemaniku.

"Kamu bermimpi buruk?" ia mengusap keringat yang mengucur dari dahiku.

MetanoiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang