33

89 7 0
                                    

Aline POV.

Aku terpaku menatap empat nisan berjejer di depanku ini. . Bibirku terkunci rapat. Bukannya aku tidak ingin bicara, namun aku tidak bisa mengatakan apapun. Semuanya tercekat di tenggorokan dan rasanya begitu sakit.. Bahkan air mata yang kupikir akan tumpah disini, sama sekali tidak keluar. Namun percayalah, bahwa saat ini perasaanku lebih sakit daripada biasanya.

"Ini kedua orangtuaku, namanya Ayu dan Seto." David menunjukkan dua buah nisan yang bersisian di sebelah kiri. Dan tanpa David katakan pun aku tau pemilik dua nisan berjejer sebelah kanan. Dua nisan yang mungkin sudah bertahun-tahun lamanya menunggu aku untuk menjenguk mereka.

Di nisan itu terukir dua buah nama asing namun saat mengucapkan nama itu di dalam hati, perasaanku menghangat.

"Riana dan Irawan...."Aku bergumam, mendekati kedua nisan itu dan mengelusnya satu persatu. Dan berhasil, kali ini air mataku menetes. Aku langsung berlutut di depan nisan itu dan menangis dengan menunduk. Tubuhku lemas, luruh bersama tangis yang terus turun.

"Maafkan aku papa, mama, om, tante.....Aku tidak pernah menyadari kebenarannya. Aku sungguh tidak tau malu. Aku bahkan hidup dengan keluarga yang jelas-jelas telah menghancurkan kebahagiaan kita semua..." Aku semakin menunduk. Berusaha mengingat sedikit kenangan bersama mereka, namun tidak bisa. Aku sama sekali tak mengingat apapun. Justru ingatanku tertuju pada Rose. Aku bertumbuh dengan wanita itu, dan justru tak memiliki kenangan yang bisa ku ingat bersama kedua orangtuaku.

"Aku tidak tau lagi harus melakukan apa sekarang selain bersembunyi...."

"Satu-satunya acara untuk membuat kalian tenang disana adalah mengembalikan hak kalian saat usiaku tigapuluh tahun. Namun aku takut, aku takut Anang akan melakukan sesuatu padaku." Aku menutupi wajahku dengan kedua telapak tangan dengan terisak.

"Om Seto, tante Ayu.....maafkan aku karena sudah membuat putramu kehilangan kebahagiaannya karena aku."

David mengelus punggugungku. Ia lalu ikut berlutut di sampingku.

"Ayah, ibu....tuan.....nyonya....aku sudah berjanji pada kalian akan membawanya kesini suatu saat nanti. Dan janjiku sudah terpenuhi bukan? Dia Marisa kecil yang selalu kalian gendong waktu kecil dulu. Bukankah sekarang ia tumbuh menjadi perempuan dewasa yang cantik dan pintar. Benar bukan aku tidak berbohong kalau dia cantik? Setiap kali aku kemari, aku selalu menceritakan tentangnya pada kalian, dan kalian tidak memepercayaiku."

Aku semakin tergugu mendengar tutur kata David yang semakin meremas hatiku. Aku membayangkan jika pria ini selalu datang kemari untuk menghibur diri dari setiap luka yang ia dapatkan dari Anang dan keluarganya. Mungkin juga tempat ini menjadi saksi bisu ketika David rapuh dan menangisi takdirnya yang begitu menyedihkan.

"Dav...." Aku menoleh pada David yang kini sedang mengelus nisan kedua orangtuanya.

"Terimakasih karena sudah menjaga makam papa dan mama dengan baik." Aku mengatakan demikian karena melihat kondisi makan yang sangat bersih dan terawat. Bahkan mungkin beberapa waktu yang lalu David sudah kemari. Sebab di vas bunga itu terdapat bunga yang belum sepenuhnya kering.

David merangkulku. "Itu sudah tugasku Alinea." Sahutnya dengan senyumannya yang begitu manis. "Aku bersyukur karena sudah memenuhi sebagian janjiku pada orangtuamu Alinea."

******

Matahari sore menampakkan bias kemerahannya di ufuk barat. Laut terlihat tenang, hanya ada ombak kecil yang berkejar-kejaran menuju pantai. Angin lembut juga terasa menenangkan ketika membelai rambutku yang ku biarkan terurai.

Aku berjalan di pinggir pantai sendirian, menikmati semuanya dan mencoba untuk melepaskan perasaan di dalam hatiku. Setelah David mengajakku ke makam siang tadi, perasaanku menjadi sedikit lebih baik. Setidaknya aku harus bertahan di tempat ini sampai Anang akan menyrah. Meskipun aku tau bahwa pria licik itu memiliki banyak cara untuk menemukanku.

MetanoiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang