29

79 7 0
                                    

Aku berlari menyusuri anak tangga dengan langkah cepat sambil sesekali mengusap air mata yang tak berhenti mengalir membasahi kedua pipiku. Meskipun pandanganku kabur, namun aku bersyukur bisa menjejaki anak tangga itu satu persatu tanpa terpeleset atau terjatuh.

Di lobi, aku melihat Thomas mengejarku. Aku tidak ingin pria itu menangkapku. Saat ini aku sedang tidak menginginkan siapapun untuk peduli denganku atau bertanya keadaanku. Aku ingin sendiri. Maka sebelum Thomas berhasil menghadangku, aku bergegas keluar dari gedung ini dan berlari mencari taksi.

Sekiranya Tuhan masih berpihak padaku. Saat aku berdiri dengan gelisah di tepi jalan, sebuah taksi melintas dan dengan cepat aku melambaikan tangan untuk menyuruhnya berhenti. Aku bernafas lega ketika sudah berada di dalam taksi tersebut,setidaknya aku aman dari kejaran Thomas.

"Pak mari segera pergi dari sini." Pintaku sebelum sopir taksi itu membuka suara.

Pria yang duduk di depanku itu mengangguk, ia segera menginjak gas dan meninggalkan gedung itu.

****

Aku tahu jika sopir taksi ini merasa kebingungan karena sejak tadi aku tidak menjawab kemana tujuanku yang sebenarnya. Aku hanya memintanya membawaku ke tempat yang jauh dan sekiranya nyaman untukku terus menangis. Beberapa kali sopir itu menatapku lewat spion tengah dan bertanya keadaanku. Namun aku selalu saja menjawabnya dengan "Saya baik-baik saja pak."

Namun karena merasa kasihan, akhirnya aku memintanya untuk menghentikanku di depan sebuah kelab. Ini tujuan terakhirku, meskipun aku sama sekali tidak pernah masuk ke tempat ini. Namun pikiranku sudah buntu dan bingung.

Sejujurnya aku tidak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar. Namun melihat sikap papa dan David yang tidak pernah bercanda dengan pembicaraan mereka, membuatku memang harus menerima kenyataan pahit ini. Aku adalah anak tiri dari Anang dan Rose, David bukan hanya anak kandung mereka tapi ia juga budak dari pria itu. dan yang lebih membuatku merasa tidak berguna adalah ternyata aku dibesarkan oleh seseorang yang membunuh kedua orangtuaku. Aku menikmati harta mereka, bersikap manis dan patuh serta menganggap mereka adalah orangtuaku sendiri. Betapa bodohnya aku, betapa hinanya aku dan pasti kedua orangtuaku diatas sana sangat membenciku.

Suara kencang dari musik disco sempat membuat telingaku tidak nyaman. Namun aku mencoba untuk membiasakan diri karena memang hanya inilah satu-satunya tempat untuk berlari dari kenyataan yang menyakitkan ini.

Aku berjalan ke meja bar, setelah sebelumnya menge-cek layar ponselku. Ada banyak panggilan dari David, namun aku tidak peduli. Aku mengubah mode ponselku menjad getar dan kembali memasukkannya ke dalam tas.

"Pesan apa kak?" tanya bartender ketika aku sampai di meja bar.

"Ha?!" suara bising itu membuat pendengaranku tidak terlalu baik. Aku menoleh kiri kanan, dan beberapa pasang mata lelaki hidung belang membuatku merasa tidak nyaman. Tatapan mereka menelanjangiku sehingga aku merasa risih.

"PE-SAN A-PA?!" pria berusia dua puluhan tahun itu menaikkan suaranya.

Aku mendongak menatap dinding. Biasanya aku akan menemukan banyak menu terpasang di dinding jika aku memesan sesuatu di café. Tapi ini tempat yang berbeda, dan aku kebingungan.

Sang bartender tersenyum. "Kakak baru kali ini masuk ke tempat seperti ini ya?"

Aku tidak menjawab.

"bagaimana kalau saya rekomendasikan minuman non-alkohol yang—"

"Aku mau alkohol!" sambarku cepat.

Pria itu mengerutkan keningnya.

"Cepat. Aku akan membayarnya." Tegasku. Aku tidak mau ia mengira jika aku tidak bisa membayar.

Pria itu justru kembali tersenyum.

"Bukan masalah uang kak, tapi......anda yakin?" ia masih terlihat tidak yakin. "Alkohol tidak seperti air mineral lho."

"Aku tidak seburuk itu." elakku sambil mengedarkan pandanganku dan terhenti pada seorang perempuan yang tengah menikmati minuman berwarna ckolat di meja sisi yang lain. Perempuan itu terlihat mabuk namun masih bisa menguasai keadaan sekelilingnya.

"Aku mau yang itu." tunjukku. "Cepat!"

Bartender itu menghela nafas kemudian mengeluarkan gelas berukuran kecil dan sebotol alkohol yang sama persis dengan yang dimiliki perempuan itu.

"Kakak, jika sudah tidak kuat kau bisa memanggilku." Kata bartender itu dan aku hanya menjawabnya dengan kedikan alis.

Aku tidak butuh waktu lama untuk menuangkan cairan berwarna coklat itu ke gelas kacaku. Ada rasa panas, pait sekaligus menyengat ke seluruh penjuru mulutku ketika minuman itu ku teguk. Rasa yang belum pernah aku rasakan sebelumnya karena aku memang tidak pernah berkeinginan merasakan minuman itu, lagipula David selalu mengawasiku dan memintaku untuk tidak bersentuhan dengan minuman itu. Namun malam ini aku tidak peduli dengan David ataupun semua hal yang dilarangnya. Ia pasti akan mengerti jika inilah satu-satunya cara agar aku bisa terdistraksi dengan keruwetan hidupku dan fakta baru yang membuatku hampir gila.

Sebenarnya aku sudah merasa pusing ketika baru saja menenggak dua gelas alkohol. Ya, toleransiku terhadap alkohol sangat buruk apalagi ini baru pertama kali aku mencoba. Namun aku tidak ingin berhenti, lagipula aku masih belum bisa melupakan apa yang baru saja terjadi. Setidaknya aku butuh beberapa gelas lagi sehingga aku bisa tertidur dengan pulas untuk beberapa hari kemudian bertemu dengan orangtua kandungku di dalam mimpi. Aku ingin mendengarkan semua hal yang sudah terjadi dengan mereka dan apa yang dilakukan papa.......akh, brengsek! Aku lupa bahwa dia adalah manusia terkeji yang aku kenal. Mulai sekarang aku akan memanggilnya si brengsek Anang Prayoga. Ya, si brengsek! Persetan dengan label 'papa' yang selama ini aku sematkan untuknya. Membuatku ingin muntah karena aku muak.

Aku menyesal sudah dibesarkan oleh orang seperti dia. Kenapa ia tidak membunuhku juga waktu itu, daripada aku harus tinggal dengan pembunuh kedua orangtuaku dan kedua orangtua kekasihku.

"Sialaaaan!" aku berteriak kencang di tengah duniaku yang mulai berputar. Tiba-tiba saja perutku terasa penuh dan berjejal. Seluruh isinya berdesak-desakan minta dikeluarkan.

Bagaimana ini?

Aku beranjak dari tempat dudukku dengan sempoyongan dan berlari meskipun limbung untuk mencari toilet agar aku bisa muntah-muntah disana.

Beruntung, aku bisa menemukan toilet dengan cepat dan mendapati salah satu toilet dengan pintu terbuka. Aku segera berlari dan berlutuh di depan kloset. Mengeluarkan semua yang berada di dalam perutku tanpa terkecuali.

Setelah yakin bahwa aku tidak akan muntah lagi karena seluruh isi perutku keluar, aku berjalan keluar toilet dengan mata basah, badan bergetar penuh keringat dan jalan yang tidak lurus.

Sialnya, ketika aku baru saja mengayun kaki beberapa langkah, kepalaku tiba-tiba berkunang-kunang dengan hebat.

Brrrruk!

aku terjatuh. Sekitarku menjadi semakin gelap dan aku tidaka ingat apa-apa lagi.

******

MetanoiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang