Aku menunduk, menaruh bunga krisan yang ku beli dalam perjalanan tadi di atas batu nisan berwarna hitam yang bertuliskan nama Evan Anderson di atasnya. Tak terasa waktu cepat sekali berlalu, dan Evan sudah tertidur tenang di sana untuk waktu yang sangat lama.
Setelah memposisikan bungaku dengan baik, aku memejamkan mata dan merapal beberapa doa untuknya. Angin musim dingin berdesir menyentuh kulitku. Aku sedikit menggigil, meskipun sudah mengenakan overcoat yang lumayan tebal namun tetap belum mampu membuatku hangat. Maklum, aku sudah kembali terbiasa dengan cuaca di Indonesia yang panas, jadi ketika kembali ke sini, aku benar-benar tidak kuat dengan hawa dinginnya.
"Hai Evan...." Aku tersenyum menatap nisan itu. "Apa kabarmu? Maafkan aku tidak datang tepat waktu. Apa kau menunggu kedatanganku?"
Aku menarik nafa spelan. Di belakangku, jauh beberapa langkah, ada David yang berdiri menungguku. Sebenarnya, aku memintanya untuk beristirahat saja di hotel karena kami baru sampai tadi pagi dan ia kelihatannya belum tidur sama sekali. Namun David bersikeras untuk mengantarku. Katanya, cuaca dingin dan banyak salju. Ia tidak ingin aku diluar sendirian.
"Evan.....mungkin ini adalah terakhir kali aku datang mengunjungi makammu. Maksudku, mungkin aku tidak bisa mengunjungimu setiap tahun seperti dulu." Aku sulit berkata-kata, padahal sebenarnya aku sedang ber-monolog. Tapi entah kenapa, rasanya sulit mengatakan padanya bahwa aku ingin melanjutkan hidupku bersama seorang pria lain.
"Aku sudah menemukannya!" lanjutku cepat. "Seseorang yang membuat hatiku kembali berdebar saat mengingatnya, seseorang yang kembali memunculkan rindu di dalam hatiku, dan seseorang yang sangat ingin sekali ku peluk ketika dia rapuh." Air mataku menetes membasahi pipi. Enntah kenapa, mengucapkan kalimat perpisahan pada Evan membuatku menjadi sedih.
"Aku tidak membandingkan dirimu dengannya. Karena kalian jelas berbeda dan cara kalian memberikan cinta untukku juga berbeda. Hanya saja, dia adalah orang yang berhasil membuatku merasa nyaman dan aman selain dirimu."
"Maafkan aku Evan. Aku mencintainya...." Aku menunduk. "Berbahagialah kau disana. Terimakasih telah memberikan banyak waktu berharga dan cinta yang sangat berharga untukku." Isakan tangisku memecah keheningan di area pemakaman yang sunyi. Hembusan angin dingin semakin terasa menembus tulangku, namun aku masih ingin bertahan disini untuk beberapa waktu lagi.
Tiba-tiba saja, aku merasakan sesuatu yang hangat meraihku dari belakang. Aku tahu, David sedang mencoba membuatku tetap hangat dengan memasukkan tubuhku dalam balutan overcoat-nya. Ia memelukku dari belakang, dengan kepalanya berada di sisi kepalaku.
"Aku sudah bilang bukan, bahwa aku tidak ingin kamu kedinginan." Suara lembutnya menggema di sampingku telingaku. "Dan satu lagi, aku tidak suka melihatmu menangis."
Aku tersenyum, kemudian menyusupkan jemariku diantara jemarinya. "Tanganmu dingin sekali?" tanyaku.
"Tidak jauh berbeda denganmu Alinea."
Aku mengangguk setuju. Kami berdua sama-sama kedinginan disini, dan jika terus berlanjut, kami berdua bisa hipotermia.
"Mari kita kembali ke hotel." David merangkulku. "Kita harus meminum teh hangat sekarang."
Aku terdiam sesaat, sambil menatap bunga krisan yang melambai-lambai tertiup angin.
"Baiklah...." Sahutku kemudian. "Sampai jumpa Evan."
Sebelum beranjak, aku kembali menatap makan Evan, dan seulas senyum terbit di bibirku. Aku seperti melihat sosoknya, berdiri di samping batu nisan dan tersenyum sambil melambai ke arahku.
Mungkin aku memang tidak bisa setiap tahun datang kemari, namun percayalah Evan, suatu saat aku pasti akan mengunjungimu kembali.
Doakan aku bahagia bersamanya ya? Karena aku sangata mencintainya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Metanoia
RomancePost seminggu sekali Beberapa bagian dari cerita ini mengandung banyak adegan kekerasan dan adegan dewasa (18+). Dimohon bijak dalam membaca ya! Ini cerita tentang cinta dan dendam. akankah cinta bisa menghapus sebuah dendam ataukah sebuah dendam ak...