23

102 6 0
                                    

Aku menghentikan mobilku tepat di depan sebuah gudang tua. Tempat ini berada jauh di pinggiran, sangat sepi dan juga terasing. Selain suara hujan dan lolongan anjing, aku tak mendengar suara apapun lagi. Pintu mobilku terbuka, aku turun dengan cepat dan percikan air yang terhantam boots-ku berkecipak, diikuti oleh Thomas dan juga yang lain. Sebelum benar-benar mengayun langkah, aku terdiam sesaat dan mataku nyalang menyusuri keadaan. Siapa tau Anang sudah menyiapkan anak buahnya untuk menyerangku tiba-tiba dan memberodongku dengan peluru. Tapi ternyata pria itu cukup profesional. Ia tidak akan mungkin membunuhku dengan cepat meskipun ia bisa melakukannya dengan mudah. Anang seperti ular, ia tidak langsung memakan buruannya. Ia akan lebih dulu menyiksa buruannya, meremukkannya dan membunuhnya dengan perlahan.

"Sudah siap bos?" tanya Thomas yang berada di samping pintu mobil yang lain.

Aku mengangguk. Kami sama-sama menyusup diantara pekatnya malam. Pakaian kami yang serba hitam mempermudah kami menyusup diantara hujan dan gelap yang mendominasi.

Di depan sebuah ruangan yang tertutup rapat, kedua anak buah Anang menghadang. Mereka sangat tidak ramah sama sekali.

"Tuan sudah menunggu kalian." Suara pria berbaju hitam dengan anting di telinga kirinya itu terdengar dingin. Tatapan matanya penuh kebencian bergantian menatapku, Thomas dan anak buahku yang lain. Aku sering bertemu dengannya. Ia salah satu pria yang setia dengan Anang.

Aku hanya mengedikkan dagu, memberikan sinyal pada pria itu untuk membuka pintu. Saat aku memberi kode pada Thomas dan yang lain untuk mengikutiku, tangan pria bertindik itu menjeda kami.

"Hanya David yang boleh masuk."

Seketika aku menoleh.

"Apa maksudmu?!" Thomas tersulut emosi. Ia sudah siap mengayunkan pukulannya, namun aku segera menahannya.

"Tidak apa-apa Thomas. Tunggu disini saja." Aku memang tidak ingin ribut meskipun dadaku bergelora panas, aku hanya tidak ingin memancing keributan lebih cepat. Entah apa yang Anang rencanakan sehingga hanya menyuruhku masuk seorang diri.Sebab di dalam sana ada Toni sebagai tawanan dan tugas kami disini adalah membebaskan Toni.

"Tapi bos?" Thomas masih merasa tidak puas.

Aku hanya memberi isyarat gelengan padanya, agar menurut padaku.

Thomas menghela nafas kecewa, ia lalu menyurutkan langkahnya mundur menjauhiku dan pria penjaga pintu itu.

Aku menarik napas pelan sebelum akhirnya membuka pintu hitam yang sudah terlihat kusam tersebut. Saat langkahku sampai di dalam, ku dengar pintu di belakangku tertutup, aku hanya melirik dengan sudur mataku sebelum akhirnya tatapanku lurus ke depan. Beberapa langkah dariku, di tengah ruangan lebar yang berbau pengap ini, ada seseorang yang terikat di kursi dengan mulut ditutupi lakban. Dia adalah Toni. Melihatku muncul, ia mengatakan sesuatu yang tidak jelas dari mulutnya yang terbekap. Mungkin ia minta tolong padaku untuk membantunya bebas. Di belakang Toni, ada beberapa pria dengan pakaian hitam sedangkan jauh di sudut kiri mereka, di sebuah kursi kayu duduk seseorang sambil menyilangkan kaki dengan angkuhnya. Dia adalah Anang, manusia yang membuat semua hal menjadi rumit seperti ini.

"Selamat datang anakku." Ia tertawa lalu berdiri. "Aku pikir kamu sudah tidak akan menuruti permintaan papa." Ia jelas mengatakan hal itu dengan nada ejekan. Selama ini ia tak pernah menganggapku anak, begitupun aku yang tak pernah menganggapnya papa. Kami hanya dua orang yang ditakdirkan tinggal bersama dalam satu rumah tanpa ikatan apapun.

Aku menyeringai. "Lepaskan Toni." Suaraku bergema dalam lembab dan pengapnya udara di dalam gudang. Karena cahaya terbatas, suasana disini menjadi remang-remang.

"Kenapa aku harus melepaskan dia?" Anang berjalan mendekati Toni, menaikkan salah satu kakinya di paha pria itu kemudian mencondongkan wajahnya di muka pria yang mengenaskan tersebut. Dengan salah satu tangannya ia menjambak rambut Toni dari belakang, sehingga membuat pria itu mendongak.

MetanoiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang