13

201 14 0
                                    

David menatapku, dengan sorot mata lembutnya yang membuat perasaanku tiba-tiba menjadi sangat tenang. Tidak ada amarah dalah tatapan itu, apalagi sesuatu yang bersifat mengintimidasi. Berbeda jauh ketika ia menatap Sky tadi. Manik mata hitamnya benar-benar menembus jantung, siapapun pasti akan ketakutan dengan sorot itu.

Sinar matahari sore yang menembus jendela menyinari ruangan kami dengan lembut. Dalam bias sorot lembut itu, aku bisa melihat wajahnya dengan jelas. Ia sangat tampan, meskipun di beberapa bagian wajahnya masih tersisa lebam biru akibat pertarungannya beberapa hari lalu.

"Apa aku tidak keberatan jika menanyakan suatu hal padamu?" aku membuka suara. Cukup lama aku mencoba untuk mengontrol situasi hatiku yang berdebar lebih kencang dari biasanya ketika mata kami bertemu.

Sebenarnya dalam perjalanan tadi, aku sudah tidak sabar ingin mendengarkan semua kebenaran dari mulut David tentang hubungan kami. Aku ingin menangis, aku ingin berteriak histeris mengeluarkan ketidakpecarcayaanku karena ternyata kami tidak memiliki hubungan darah. Aku ingin memukulnya, dan memakinya karena tak pernah mengatakan hal ini padaku.

Namun semakin waktu memberikan ruang pada kami untuk bersama sepanjang hari ini. Dalam sisi hatiku yang lain merasa bersyukur karena kami tak memiliki hubungan apapun selain orang asing yang ditakdirkan untuk bertumbuh bersama, berbagi waktu bersama dan menjalani hidup bersama saling mengenal satu sama lain dalam waktu yang cukup lama. Katakan saja aku egois, katakan saja aku memiliki sisi jahat dalam diriku karena mensyukuri sesuatu yang seharusnya aku tangisi. Namun hatiku kecilku tidak bisa berbohong tentang hal itu.

"Katakanlah....." suara David mengaburkan monolog di kepalaku. Wajahnya datar seperti biasanya, namun ia tidak terlihat terganggu dengan kalimatku. Seoalah ia sudah mempersiapkan diri untuk menjawab semua pertanyaanku.

Aku menarik nafas panjang sebelum membuka pembicaraan.

"Apa benar yang dikatakan Sky tadi bahwa kamu dan aku—kita—bukan—" aku tidak tau harus memulai dari mana pertanyaanku. Aku hanya takut kecewa dengan jawaban itu.

Kecewa? Kecewa jika kami memang bukan saudara kandung, atau kecewa jika ternyata apa yang dikatakan Sky salah dan itu hanya bualan orang itu saja?

"Kita memang bukan saudara kandung Alinea, dan apa yang dikatakan Sky tadi benar." Sahutnya dan langsung membuat jantungku seperti mencelos ke dasar perut. Di satu sisi hatiku bersorak, namun ada juga sedikit perasaan kecewa. Mungkin kecewa karena pria setampan ini tidak dilahirkan dari rahim mama.

"Jadi, bagaimana kamu bisa tau kalau kita bukan saudara kandung? Bukan-bukan, kamu—siapa yang melahirkanmu?" aku gugup sekaligus penasaran dengan sosok wanita hebat yang melahirkannya dan apa yang terjadi dengannya sampai ia menjadi anak angkat dari papa dan mama.

David terdiam. Ia tidak segera menjawabku. Hanya matanya saja yang menatapku dengan berkaca-kaca. Ia tiba-tiba saja menelusupkan telapak tangannya di pipiku.

"Kenapa?" aku membaca jika eskpresinya tidak baik-baik saja. Ada aroma kesedihan disana. "Apa aku membuatmu sedih? Apa aku membuka luka lamamu?" akau meremas tangannya yang masih berada di pipiku. "Maafkan aku David. tidak seharusnya aku menanyakan hal itu padamu."

"Tidak." Sahutnya dengan senyuman tipis. Meskipun ia tersenyum, namun tergambar jelas ada sebuah luka yang terbuka di sana. Aku ingin menyelaminya, aku ingin ikut masuk ke dalam hatinya dan menyembuhkan luka-lukanya.

Seandainya aku bisa.

"Aku tidak tau siapa orang tuaku dan kedua orangtuamu menyelamatkanku." Suaranya bergetar saat mengatakan hal itu. terasa berat, seperti ia tak ingin mengucapkan kalimat itu.

"Kamu yakin tidak mengetahui siapa orang tuamu?" air mataku menetes. "Mungkin aku bisa membantumu untuk mencarinya. Mungkin kita bisa minta bantuan papa atau aku bisa mencarikan bantuan—"

MetanoiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang