40

50 8 0
                                    

Aku terbangun dan tidak mendapati David berada di sisiku. Aku pikir ia sudah berada di bawah dan bergabung bersama teman-temannya, namun ia tak berada di sana, bahkan Thomas maupun Edward. Dan yang membuatku lebih kecewa adalah, pria itu pergi ke kota untuk menemui Anang dan menyelamatkan Sky.

"Nyonya tidak perlu khawatir, bos akan datang sebelum matahari terbenam." Kata salah seorang penjaga yang ditugaskan untuk menjagaku.

Aku meremas jemariku dengan gelisah. Aku tau David akan selalu menepati janjinya, hanya saja saat ini aku merasa terlalu takut. Kami susah payah bersembunyi selama ini, meskipun aku tau hari ini pasti akan terjadi, bahwa salah satu dari kami pasti akan bertemu dengan Anang untuk menyelesaikan rangkian kerumitan ini untuk kebaikan kami di masa depan. Hanya saja, aku pikir tidak akan secepat ini. Semalam, pria itu masih mendekapku dengan mesra dan hangat di tempat tidur, sambil berkali-kali membisikkan kalimat bahwa ia mencintaiku dan tak akan pernah meninggalkanku. Namun, kenapa pagi ini ia sama sekali tak ku temui di manapun dan meninggalkanku tanpa pamit?

"Kenapa dia tidak mengatakannya padaku?" gumamku sedih.

"Bos tidak ingin melihat nyonya khawatir."

"Tapi tetap saja, aku merasa sedih ketika pagi ini tak bertemu dengannya...."

Pria yang ditugaskan menjagaku itu menatapku dengan iba. Ia mungkin tau perasaan kami, namun ia sendiri bingung harus melakukan apa. Secara David sudah memerintahkannya untuk tidak mengatakan apapun kepadaku.

"Bos meminta anda untuk tidak meninggalkan sarapan hari ini."

Aku menatap pria berkaos hitam itu dengan pandangan tidak percaya. Masihkan David memikirkan sarapanku ketika saat ini aku tidak tau keadaannya.

"Apakah aku terlihat bisa memakan sesuatu?" aku menunjuk diriku sendiri dengan kesal. "Padahal aku yakin, dia sendiri belum menyentuh makanan apapun."

"Saya mohon nyonya. Saat ini saya bertugas untuk menjaga anda."

Aku berdecak kecil, kemudian berjalan ke dapur. Di meja makan sudah tersedia menu sarapanku. Entah siapa yang menyajikannya, namun aku yakin bukan suamiku, Thomas ataupun Edward karena saat ini mereka bertiga tengah melakukan misi gila.

Setelah sarapan dan membersihkan diri, aku berniat jalan-jalan di pinggir pantai untuk meredam kegelisahan yang menggantung di benakku. Waktu sarapan tadi, aku benar-benar tidak bisa memasukkan makanan ke dalam mulutku, alhasil aku membuang sisa makananku diam-diam. Bukannya aku tidak menghargai makanan, hanya saja aku benar-benar tidak bisa menelan makanan yang ku kunyah ketika perasaanku was-was. Dan agar David tidak marah kepada anak buahnya karena membiarkanku tidak sarapan, akhirnya aku membuang sisa makanan itu tanpa sepengetahuan anak buahnya.

"Jangan mengikutiku!" pesanku ketika keluar dari pintu.

"Tapi—'

"Aku hanya ke pantai dan tidak akan pergi ke manapun."

Pria yang berjaga di depan pintu menggangguk dengan patuh.

Semilir angin pantai berhasil membuat pikiranku lebih baik. Kaki telanjangku berjalan setapak demi setapak menginjak pasir yang masih basah. Sesekali riakan ombak kecil menyapa kakiku. Nyaman sekali, seperti therapy. Nun jauh di langit, aku melihat segerombolan camar sedang terbang bersama teman-temannya. Suaranya yang khas membuat perasaanku tenang. Aku menyukai tempat ini, sebab tempat ini memberiku rasa nyaman dan perlindungan. Hanya saja aku tidak memungkiri jika aku juga merindukan duniaku yang dulu. dengan semua orang yang berada di kota. Berinteraksi dengan banyak orang dan bisa berjalan-jalan di seluruh tempat di setiap sudut kota.

Saat ini aku tau jika suamiku tengah mengusahakan semuanya agar kembali seperti dulu. agar aku bisa kembali bersama teman-temanku dan juga duniaku yang begitu menyenangkan. Namun jika mengembalikan semuanya hanya akan menyakiti David dan membuat pria itu tersakiti oleh Anang, aku lebih baik berada di sini dan tidak memiliki apa-apa. Aku yakin jika oragtuaku di surga akan mengerti.

Duar!

Suara tembakan dari arah rumah mengagetkanku. Aku menoleh dengan cepat, dari jauh aku melihat beberapa mobil hitam terparkir di halaman rumah.

Degup jantungku berpacu dengan cepat. Apa yang terjadi? Apakah David sudah kembali? Tapi suara apa itu? Apakah suamiku datang bersama Anang karena pria itu berhasil membuatnya menyerah?

Oh tidak, aku harus melakukan sesuatu.

Kaki telanjangku berlari dengan cepat, mengabaikan rasa perih saat telapak kakiku menginjak batu dan bahkan karang. Semakin mendekat, bayangan mobil itu semakin jelas. Tidak ada mobil suamiku di antara beberapa mobil yang terparkir disitu, dan hal ini menguatkan keyakinanku bahwa Anang telah menemukan markas kami dan kini sedang menghancurkannya.

Merasa dalam bahaya, aku membelokkan langkahku dan mengendap-endap melewati gugusan karang yang terjal, tajam dan runcing. Setelah berhasil mendekati rumah, aku bersembunyi di belakang karang. Dari sini aku bisa melihat dengan jelas semua hal yang terjadi di dalam rumah, karena rumah kami memiliki kaca yang lebar.

Aku menutup mulutku dengan tangan ketika melihat beberapa pengawalku dibantai habis-habisan oleh sekawanan para bedebah itu. Bahkan aku melihat Anang di sana, mengacungkan pistolnya pada pria yang tadi memintaku untuk sarapan.

"Dimana Alinea!" suaranya terdengar keras sampai di telingaku.

"Nyonya tidak ada disini!" pria itu menatap mata Anang dengan berani.

"Kau berani berbohong?!" teriak Anang sekali lagi dan DOR! Peluru itu melesak menembus perutnya. Pengawalku rubuh dengan darah berceceran di lantai.

Air mataku tak bisa tertahan, luruh dengan deras. Mereka mencariku, dan memporak-porandakan anak buah serta rumahku. Di balik karang ini aku bersembuyi dan menjadi saksi bagiamana mereka mengobrak-abrik seluruh sudut di rumahku. Maafkan aku teman-teman, aku tidak bisa menyelamatkan kalian, terimakasih sudah setia kepada David selama ini.

"Nona tidak ada tuan." Ku dengar seorang pria dengan kepala plontos itu melapor pada Anang.

Anang mengepalkan tangannya. Ia pasti merasa kesal karena tidak menemukanku.

"Cari di setiap sudut, dan sisir seluruh pantai. Aku yakin, dia belum jauh."

Pria itu mengangguk kemudian meninggalkan Anang.

Tubuhku gemetar, aku tidak ingin Anang menangkapku. Dengan sisa-sisa tenaga, aku merunduk mencari tempat bersembunyi yang aman. Aku merutuki kebodohanku kenapa tadi pagi tidak menghabisakn sarapan. Setidaknya meskipun semuanya terasa hambar, akan membantuku menghasilkan energy di tengah persembunyian menyelamatkan diri seperti ini. Sayang sekali, ponselku juga tertinggal di dalam kamar, sehingga aku tidak bisa menghubungi siapapun.

Dalam pandangan yang kabur karena tangis, aku menemukan sebuah cerukan kecil di bukit karang. Aku sudah putus asa, apalagi melihat banyak anak buah Anang menyisir pantai mencariku.

"Alinea sayang.....papa disini nak!" aku mendengar teriakan bedebah Anang memanggilku. Tidak terlalu jauh, ia pasti berada di sekitarku. Aku meringkuk sambil menutup mulutku agar bisa meredam isakanku. Di dalam hati, aku terus merapal doa agar pria itu segera pergi. Di tengah isakan, dan ketakutan yang melingkupi hatiku, mataku tertumbuk pada kaki telanjangku yang berdarah-darah. Aku baru menyadari bahwa luka terkena karang itu sangat perih. Namun aku tidak peduli. Hal yang lebih penting saat ini adalah semoga mereka tidak menemukanku dan aku bisa bertemu dengan suamiku.

***** 

MetanoiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang