22

146 8 0
                                    

David POV

Malam kian pekat, germisi turun dengan teratur dan menggenangi beberapa jalanan kota yang aku lalui. Hawa semakin dingin dan lembab. Sebenarnya tmpat yang paling nyaman ketika hujan dan dingin seperti ini adalah bergelung selimut di tempat tidur dengan cahaya lampu kamar yang redup dan serial televisi. Namun, aku mungkin tidak akan pulang malam ini dan tetap menyusuri jalanan untuk mencari keberadaan Alinea. Entah sudah berapa banyak hotel yang aku singgahi, dan berharap bisa menemukan namanya di daftar pengunjung. Namun nihil, ia seperti telang hilang ditelan bumi.

Lampu merah memaksaku untuk menghentikan mobilku. Dengan berat hati aku menginjak rem dan menunggu. Akh, aku benci! Seadainya aku bisa, aku ingin terus melajukan mobilku dan tidak peduli apa yang terjadi di depan sana. Harapanku satu-satunya adalah bisa menemukannya dan kemudian memeluknya dengan erat. Menegaskan bahwa aku sangat mencintainya dan ia tak kan pernah terganti dengan apapun di dalam hidupku.

"Sialan!" aku memukul stir mobilku dengan frustasi. pandanganku beralih pada wipper yang dengan teratur menghalau air di kaca depan mobil. Salah satu siku-ku bertumpu pada pintu mobil dengan tanganku memijit-mijit pangkal hidung. Kepalaku mulai pusing, apalagi semenjak tadi Rose terus menelponku. Ia pasti panik karena Alinea belum berada di rumah sampai jam segini.

Sama halnya dengan Rose, pikiranku juga buntu. Kalimat-kalimat Alinea di klinik tadi terus berdenging-denging di telingaku. Sorot matanya yang lemah dan penuh ketakutan itu terus menuntutku agar aku menerima ajakannya pergi dari kota ini.

Sebenarnya aku bisa saja meng-iya-kan permintaannya dengan mudah. Kami bisa saja pergi tanpa jejak dari tempat ini, membangun kehidupan baru tanpa adanya Anang Saputra atau sekian banyak relasinya. Namun hidupku tidak hanya tentang diriku sendiri, dan hidup Alinea juga tidak hanya tentang dirinya sendiri. Selain Alinea, aku masih memiliki beberapa orang yang perlu aku lindungi agar mereka baik-baik saja dan aman. Jadi, maafkan aku Alinea sayang. Bukannya aku tidak mencintaimu, hanya saja Anang begitu pandai menyimpan kelicikannya dan membuat banyak orang kehilangan sesuatu yang penting bagi hidup mereka.

Pandangan kosongku menatap lampu merah di depan sana. Aku teringat beberapa waktu lalu ketika aku dan Alinea sama-sama dalam pelarian saat menghindari anak buah Alexis. Tiba-tiba saja, pria psikopat bernama Alexis itu luluh dan tidak lagi mengejarnya. Mengertilah aku sekarang apa yang Anang korbankan agar bisnisnya tetap berjalan. Yaitu Alinea. Perempuan itu menjadi tumbal pria jahat itu, untuk mendapatkan apa yang ia inginkan.

Lampu merah berubah hijau. Aku kembali melajukan mobilku dengan perlahan. Mataku terus nyalang menyisir jalan, siapa tau bahwa aku menemukan mobil Alinea sedang terparkir di salah satu sudut jalan. Namun semua masil nihil, sampai akhirnya sebuah telepon menyentak konsentrasiku.

Thomas calling.....

Aku menghidupkan earphone bluetooth-ku.

"Ada apa Thom?" tanyaku setelah tersambung.

"Bos dimana?"

"Di jalan. Sedang mencari Alinea."

"Kenapa dengan nona?"

Aku menghela nafas pelan.

"Nanti aku ceritakan." Sahutku. "Kenapa kamu menelponku selarut ini."

Thomas tidak segera menjawab.

"Apakah ada masalah Thom?" aku seperti bisa membaca pikiran Thomas.

"Begini bos. Toni hilang."

Aku melebarkan mataku. "Hilang?!" aku jelas menyembunyikan Toni di salah satu apartement dan memintanya untuk tidak keluar dari apartement jika ia tidak benar-benar memiliki kepentingan. Bahkan di apartement itu aku memerintahkan dua orang anak buahku untuk menjaganya. "Apa kau yakin dia hilang Thom?"

MetanoiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang