42

54 7 0
                                    

"Brengsek!" aku berlari meninggalkan Sky yang masih berada di rumah kosong tersebut. Biarkan anak buahku yang lain yang mengurusnya, karena saat ini ada hal yang lebih penting daripada Sky yaitu keselamatan Alinea. Jika Sky bisa melindungi dirinya sendiri, namun tidak dengan perempuan itu.

Thomas berlari mendahuluiku dan langsung menghidupkan mesih mobil. meski tak ku beri tau, ia pasti mengerti tujuanku saat ini. Yaitu segera kembali ke markas. Tak berselang lama, mobil kembali melaju meninggalkan rumah kosong sialan itu. Di belakangku mobil lain mengikuti.

Thomas mengemudi dengan membabi buta, sedangkan aku yang berada di kursi penumpang begitu gelisah. Berkali-kali aku menelpon nomor Alinea, namun tidak ada sahutan darinya. Begitupun dengan anak buahku yang lain. Ponsel mereka seolah hilang di telan bumi.

"Aku bisa gila!" teriakku emosi. Aku sudah tidak bisa lagi melukiskan betapa paniknya hatiku saat ini. Ku pijit pangkal hidungku frustasi, aku tidak menyangka jika Anang sudah menemukan persembunyian kami lalu menggunakan cara licik ini untuk mengecohku. Karena ia tau jika aku juga tak akan mungkin tega melihat Sky tersakiti.

Jemariku kembali menari di atas layar ponsel. Sekali lagi, aku mencoba menelpon salah satu anak buahku, dan berhasil. Kali ini teleponku tidak sia-sia.

"Bos....." sebelum aku membuka mulut, aku mendengar suara anak buahku merintih di seberang sana.

Jantungku seakan berhenti berdetak. Aku yakin, sesuatu yang buruk telah terjadi di markas. Baru kali ini aku merasakan emosi sekaligus perasaan takut yang tiba-tiba muncul di benakku. Aku marah dengan apa yang telah terjadi, dan kupastikan akan ku balas semuanya lebih sakit dari ini. Namun aku takut, mereka yang ku sayangi dan selalu bersamaku, menjadi korban dalam situasi ini. Aku tidak ingin ada pertumpahan darah, aku takut jika Anang menyakiti mereka.

"Apa yang terjadi?!" aku mengepalkan tanganku penuh emosi. Kepalaku berdenyut hebat menahan emosi.

"Anang dan anak buahnya menghancurkan markas bos."

Nafasku tercekat, emosiku semakin mendidih.

"Alinea, dimana dia?!" tanyaku cepat. Tak ada yang lebih ku khawatirkan sekarang selain keselamatan Alinea.

"Nyonya tidak ada disini."

"Lalu dimana?!" suaraku meninggi. Tanganku mengayun, memukul kursi mobil, menimbulkan suara gedebub yang nyaring. Aku nyaris saja memukul kaca mobil, namun aku yakin kaca akan pecah dan itu bukan pilihan yang baik untuk meredam emosi.

"Saya tidak tau bos. Kita semua terluka parah, bahkan saat ini saya tidak bisa berjalan karena Anang menembak kaki saya. Dan bahkan, salah satu dari kami tertembak di perutnya." Lelaki itu merintih. "Tapi saya yakin jika Anang tidak berhasil membawa nyonya pergi."

"Kau yakin?" aku masih tidak percaya meskipun ada setitik perasaan lega di hatiku.

"Saya melihat mobil Anang pergi tanpa nyonya."

Aku bernafas lega, kemudian menyandarkan tubuhku di kursi. Ku lihat Thomas menatapku dari spion depan. Mungkin ia sedang memastikan keadaanku.

"Apa kalian terluka parah?" tanyaku kemudian.

"Iya dan markas hancur."

Aku membuang pandang ke luar jendela mobil dengan gigi bergemeletuk. Pikiranku keruh. Aku tidak tau lagi harus berbuat apa dengan keadaan saat ini. Anak buahku terluka, markas hancur dan istriku entah berada dimana. Aku mengusap wajahku frustasi, apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku tidak ingin semua orang yang kusayangi terluka.

"Bos, apa rencana kita selanjutnya?" Tanya Thomas ketika aku sudah menutup telepon.

Aku menatap pria itu dari kaca spion. "Yang jelas kita harus membawa anak-anak ke rumah sakit dan juga menemukan Alinea. Aku tidak ingin terjadi apa-apa dengan mereka. Dan Sky, bagaimana kondisinya?"

MetanoiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang