02

405 27 1
                                    


Sebenarnya, menjadi dokter bukanlah keinginanku. Sejak kecil aku selalu ingin menjadi penulis seperti Rose Prayoga—mamaku. Setiap kali aku nelihatnya menekan-nekan keyboard, lalu melihat matanya yang begitu tajam menatap layar,kemudian muncullah sesungging senyum ketika eposide novelnya selesai, hatiku selalu berdebar. Aku selalu penasaran dengan apa yang mama tulis, sampai akhirnya maha karyanya terpampang di rak-rak toko buku lalu semua orang membacanya.

Setelah lulus SMA Anang Prayoga—papaku mengirimku ke Cambridge untuk melanjutkan kuliah. Awalnya aku menolak, di Indonesia kampus kedoteran banyak yang bagus. Tapi papaku bersikeras, ia mengatakan bahwa di luar negeri aku bisa bertemu dengan banyak orang dan bisa menyesuaikan diri jika nanti tinggal di sana. Aku sebenarnya tidak mau, apalagi melihat mamaku sendirian dan menangis ketika kami bertemu setiap dia mengunjungiku. Ikatan kami sangat kuat, dan aku tahu dia sangat menyayangiku, dan akupun juga. Kami memang tak pernah terpisahkan semenjak aku kecil.

Hingga akhirnya, aku menemukan sosok lain yang bisa menghiburku di negeri asing. Namanya Evan, pria yang memberikan warna baru dan tawa di hidupku. Aku si anak manja yang setiap rindu dengan mama selalu menangis, akhirnya memiliki orang lain yang bisa aku rindukan, dan yang menemanikan ketika aku kesepian. Pria itu mengambil jurusan arsitektur di kampus yang sama denganku. ia berasal dari Leicester, dan berwajah tampan. Ia memiliki mata berwarna abu dengan tatapan yang lembut. Sehingga aku tergila-gila padanya.

Namun kebahagiaanku tidaklah lama. Menjelang kelulusan, setelah ia berjanji untuk melamarku ketika aku lulus—tiba-tiba saja ia ditemukan meninggal di apartement-nya. Pria aktivis gereja, yang selalu mencintai orangtua serta kekasihnya itu tiba-tiba meninggal dengan tragis.

Overdosis.

Awalnya aku tidak percaya, namun hasil autopsi berkata demikian. selama dua tahun kehilangannya, aku menjadi satu-satunya orang terpuruk setelah mama-nya. Aku tidak pernah berfikir jika pria yang aku cintai dan aku percayai ternyata mempunyai sisi gelap di belakangku. Namun hal itu tidak lantas membuat perasaanku mati seperti dirinya. Setelah kelulusanku, mama langsung membawaku kembali ke Indonesia agar aku bisa melupakan sosok itu. namun percayalah, aku tidak pernah sedetikpun melupakan Evan. Aku hanya terbiasa dengan ketiadaannya, bukan karena sudah melupakannya.

"Dok, ada pasien baru di bed nomor lima." Suara perawat mengagetkan lamunanku.

Aku yang sedang menggulir-gulir layar ponsel mendongak, menatapnya yang berdiri di depanku. Mungkin baru lima menit aku bisa meletakkan bokongku di kursi, setelah hampir sepanjang hari berpindah dari bed satu ke bed yang lain untuk memeriksa pasien.

"Dengan apa?" aku menyambar stetoskop kemudian berjalan menuju bed nomor lima sedangkan perawat wanita bernama Laura itu mengikutiku dari belakang.

"Mabuk berat." Aku menghentikan langkah, dan memutar pandangan pada Laura yang juga ikut terhenti. Sesaat kemudian tatapanku beralih pada jam dinding.

"Mabuk berat di siang bolong?" mata melebar. "Sungguh orang ini berasal dari planet mana?"

"Em....sebenarnya enggak berat-berat amat sih dok. Cuma mengeluh pusing, tapi berbau alko—"

Sreeet!

Belum selesai Laura dengan kalimatnya, aku langsung membuka tirai.

"Selamat pagi ba—" kalimatku tertahan, dan sosok yang terkulai di bed pasien ini bukan bapak-bapak. Melainkan.....

"Hay......sweety....." sapanya ketika melihatku, ia lalu menegakkan duduknya dengan susah payah. Ia terlihat berantakan, rambut awut-awutan dan berbau alkohol yang menyengat, kelopak matanya terlihat hitam, mungkin ia mengalami insomnia parah. Meskipun begitu, aku tidak menampik jika sosok perempuan di depanku ini masih terlihat cantik dan menarik dengan pakaian sexy-nya itu.

MetanoiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang