31

92 8 0
                                    

Alinea POV.

Aku terbangun di sebuah tempat yang sangat asing tapi begitu nyaman. Ada bau lavender serta selimut yang begitu lembut dan kasur yang sangat nyaman. Jika saja sinar matahari yang hangat menembus kulitku ini tidak membuatku terganggu, mungkin aku masih tidur dengan nyenyak dan melupakan semua hal yang telah terjadi kemarin.

Kemarin?

Akh, aku pikir semua hanyalah mimpi. Namun ternyata ketika bangun, aku kembali merasakan sakit yang mendera hatiku. Sakitnya masih sama dengan kemarin, meskipun aku sudah berusaha melupakannya dengan alkohol. Namun ternyata, alkohol hanya membantuku untuk melupakan masalah sesaat, tidak untuk selamanya.

Aku mengitari pandangan ke sekeliling. Hmm....sebuah hotel dan sangat mewah. Siapa yang membawaku kemari?

Alexis?!

Akh tidak mungkin. Pria itu memang sepertinya mengejarku, namun ia tidak mungkin membawaku kemari.

Lalu siapa?

Apakah pria lain yang ku temui di kelab semalam?

Apakah aku?

Dengan cepat aku menyingkap selimutku dan mendapati bahwa tubuhku hanya berbalut kemeja berwarna putih.

Oh My Goodness! Apa yang terjadi denganku? Siapa yang sudah melakukan semua ini padaku? Semalam aku benar-benar kehilangan memoriku. Setelah menenggak beberapa gelas alkohol dan akhirnya muntah di kamar mandi, aku tidak ingat apa-apa lagi.

Gila! Pacarku saja belum melakukan apapun padaku, kenapa aku justru mempersilakan pria lain untuk menjamahku?

Aku memasang telingaku, dan mendengar suara air dari shower kamar mandi. Seketika aku memucat, apalagi ketika ku dengar suara shower itu berhenti dan bberapa saat kemudian terdengar pintu kamar mandi terbuka.

Aku megepalkan tangan, bersiap untuk memulai perang pada sosok yang sudah berani membawaku masuk ke dalam hotel dan melucuti pakaianku.

"sudah bangun?" suara lembut itu membuat penasaran yang sempat muncul di hatiku mendadak sirna. Aku menghela nafas lega, setidaknya aku tidak akan protes jikapun dia yang melucuti pakaianku semalam.

"David, kenapa aku disini?" suaraku terdengar dingin. Tentu saja, aku masih memendam kesal padanya atas semua rahasia yang ia tutupi dariku selama ini.

David yang kini hanya mengenakan handuk putih yang menutupi bagian bawah tubuhnya itu berjalan ke arahku. Wangi sabun dan sampo menegur hidungku ketika ia berdiri di depanku.

"Apa kau tidak ingat dengan yang terjadi semalam Alinea?" alisnya terangkat.

Tentu saja aku ingat. Aku mabuk dan rasanya sungguh tidak enak.

"Untung saja anak buahku menemukanmu. Jika tiidak? Apa kau tidak berfikir jika tempat seperti itu bukan tempat yang bagus untuk dijadikan pelarian atas semua masalah yang datang padamu?!"

David terlihat sangat kesal. Namun di sisi lain aku lega, dan aku merasa tidak akan takut jikapun masuk ke dalam kandang singa sekalipuun. Sebab, dia pasti akan menemukanku.

"Aku tidak ingin berdebat denganmu." Aku mendorong selimut dan beranjak dari kasur. Kemeja putih yang kebesaran itu hanya menutupi sebagian pahaku. Pipiku terasa panas, jadi semalam David memakaikan kemeja ini padaku? Jika saja hari ini aku sedang tidak ingin menuntut penjelasan darinya, mungkin aku sudah menariknya ke dalam pelukanku dan menciumnya sepuasku.

"Kamu tau dengan jelas apa yang membuatku sampai menghabiskan malam dengan alkohol yang selama ini tidak pernah ku sentuh." Aku berjalan menuju ke depan jendela dan bersidekap dengan pandangan terlepas ke luar sana. Matahari sudah tinggi dan di luar sana, aktifitas manusia kembali seperti biasanya.

"Apa kau tak berniat mengatakan semua hal itu padaku Dav?" tanyaku kemudian.

Hening beberapa saat, sebelum akhirnya pria itu menyahut.

"Aku berniat tidak ingin mengatakannya padamu Alinea." Gumamnya. Aku memejamkan mata, merasakan sakit yang menjalar di relung hatiku.

"Setega itukah kamu membiarkan hidup dengan pria yang membunuh orangtuaku Dav?" mengingat itu hatiku tercabik. Bagaimana tidak? Aku menyayangi Anang dan Rose seperti orangtuaku sendiri. Bahkan aku tidak pernah mengira jika aku adalah anak pungut ketika Rose begitu menyayangiku melebihi dirinya sendiri. Sedang Anang? Aku pikir sifat dinginnya dan otoriter itu memang sudah pembawaannya, tapi ternyata semua sudah jelas. Bahwa ia memang tidak pernah menganggap sebagai anaknya selama ini. Mungkin ia masih melihat sosok ayah ibuku ketika melihatku. Tapi kenapa ia juga tidak sekalian mebunuhku?

"Aku memang berniat untuk tidak mengatakannya padamu, namun aku berniat menyelamatkanmu darinya." David berjalan ke arahku. Siluetnya terlihat dari pantulan kaca. "Karena aku tau kamu pasti akan serapuh ini jika tau yang sebenarnya."

Aku menarik nafas panjang. Dadaku terasa sesak dan mataku berkaca-kaca. Ya, aku memang rapuh. Mungkin aku akan melakukan tindakan nekat jika saja tidak ada dirinya di sampingku. Aku hanya memiliki David sekarang, satu-satunya orang yang memiliki kisah yang hampir sama denganku. Satu-satunya orang yang masih bisa bertahan dan hidup dengan orang yang membunuh kedua orangtuanya. Aku yakin, ia lebih tersiksa daripada aku.

"Karena aku sudah tau, bisakah kau menceritakan semuanya padaku sekarang? Agar aku tak membencimu."

David berdiri tepat di sampingku. Matanya juga menatap lepas ke luar jendela. Ia seperti sedang mencoba merangkai kata untuk memulai sebuah awal cerita yang bagus.

"Namamu sebenarnya adalah Marisa......"

MetanoiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang