15

221 16 0
                                    

Aku masuk ke dapur setelah pembicaraanku dengan Thomas dan yang lain di serambi depan selesai. Aku mendapat kabar jika Alexis sudah tidak mencariku lagi dan masalah sudah beres. Aku tahu, pasti pria itu memiliki kesepakatan dengan Anang Prayoga. entah apa yang mereka sepakati, aku tidak peduli.

Waktu sudah bergulir menuju tengah malam, dan aku harus segera meminum obatku jika tidak ingin mendapatkan amukan dari Alinea. Lukaku sudah tidak se-sakit siang tadi. Mungkin efek obat, atau mungkin karena proses penyembuhan lukaku sangat cepat.

Setelah meminum beberapa tablet yang Alinea berikan, aku menyusuri tangga ke lantai dua untuk beristirahat di kamar. Karena kamar yang biasa aku pakai kini ditempati oleh Alinea, aku memutuskan untuk tidur di kamar sebelahnya.

Aku berdiri beberapa lama di depan pintu, sebelum akhirnya langkahnya membelok ke kamar yang sudah tertutup rapat. Sebelum tidur, aku ingin melihat Alinea untuk memastikan bahwa ia sudah mematikan lampu dan memakai selimut dengan baik.

Pintu terbuka, dan suasana cukup remang-remang. Alinea tidak menghidupkan lampu tidur, namun sinar bulan dari jendela yang tak tertutup gorden itu memberikan cahaya yang cukup temaran. Dalam remang-remang cahaya bulan itu, aku melihatnya tertidur pulas di atas kasur.

Aku berjalan mendekat, dan berdiri di sisi kasur. Tatapanku tertuju padanya yang terlihat sangat nyaman. Mungkin ia kelelahan. Bagaimana tidak, ia bekerja semalaman dan tanpa beristirahat sama sekali.

Cukup lama aku terdiam sambil memandangi wajahnya yang begitu teduh. Suara debur ombak menabrak karang terdengar begitu jelas di telingaku. Namun suara itu sama sekali tidak menganggu tidurnya. Mungkin suara ombak itu justru menjadi lagu penghantar tidur untuknya.

Aku menurunkan badanku, dan duduk di pinggir kasur. Tanganku terulur, merapikan anak rambut yang berantakan menutupi wajahnya yang cantik. Bias cahaya purnama menyinari wajahnya dengan jelas.

"Selamat ulang tahun Alinea." Bisikku kemudian menunduk, mengecup keningnya dengan sepenuh hati. Aku berharap, ia tidak terbangun dengan tindakanku ini. Sebab ia pasti akan terkejut.

Aku tersenyum kecil melihatnya memakai kemejaku. Pakaian itu terihat kebesaran untuk ukuran tubuhnya yang mungil. Setelah merapikan selimut yang menutupi tubuhnya, aku berjalan menjauh ke sisi jendela. Pandanganku tertuju pada air laut di bawah tebing. Aku memasukkan kedua tanganku ke dalam saku celana, mataku terpejam. Mendengarkan deru ombak dan merasakan desiran angin pantai yang lembut menerpa wajahku. Dan aku menemukan sebentuk kedamaian di sini.

Seandainya hidup bisa ku kendalikan semudah ini. Seandainya aku tetap bisa berada di sini bersama dengan Alinea, dan tidak berurusan dengan Anang Prayoga, Sky atau bahkan Alexis dan musuh-musuhku yang lain, mungkin aku akan menjadi satu-satunya orang paling bahagia di dunia ini. Namun hidupku sudah benar-benar kelam. Aku menjadi anak angkat Anang Prayoga yang di didik menjadi seorang mafia semenjak aku kecil. Entah sudah berapa kali aku melakukan dosa dengan menyakiti orang-orang yang tidak disukai oleh Anang dan dosa-dosa yang lain. Namun hati kecilku selalu merapal pertobatan kepada Tuhan, berharap aku bisa menemukan sebuah kebahagiaan suatu hari nanti.

Tiba-tiba saja sepasang tangan terlulur dan memeluk pinggangku dari belakang. Sedetik kemudian sesuatu bersandar pada punggung belakangku. Awalnya aku terkejut, namun aku menyadari siapa sosok yang tengah memelukku ini.

"Aku ingin memelukmu." Suaranya berdengung pelan.

Aku tidak menyahut, namun kepalaku menunduk, menatap jemari mungil yang saling bertaut di perutku. Aku ingin memintanya untuk melepaskan pelukan ini karena jantungku mulai memompa dengan liar.

"Jangan memintaku untuk melepaskan pelukanku. Ini balasan sebab kamu menciumku, dan anggap saja pelukan ini sebagai hadiah ulangtahun untukku."

Aku masih tidak menjawab. rupanya ia terbangun karena ciumanku tadi.

MetanoiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang