11

228 18 2
                                    

Aku berniat membuka pintu kamar rawat inap David ketika kulihat dari jendela kecil di tengah pintu, pria itu sedang berdiri di tepi jendela kamarnya, menatap langit dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celananya. Pria itu tak mengenakan baju, sehingga badannya yang berotot terlihat jelas dibalik perban yang melingkar di tubuhnya.

Dalam beberapa detik aku terpaku di depan pintu, sebelum akhirnya membuka pintu itu dengan perlahan dan suara ketukan sepatuku membuatnya sedikit menoleh dan menatapku dengan sudut matanya.

"Kamu seharusnya berbaring saja." Kataku sambil meletakkan aromatherapi di atas meja. Wangi lavender kesukaanku, dan aku yakin David juga menyukainya.

"Kondisimu belum membaik."

David tak segera menjawab. Ia masih terlihat asyik menatap lurus ke depan. Entah apa yang ada di dalam pikirannya, aku tidak tahu. Ia pasti memiliki banyak sekali pikiran-pikiran yang berlompatan kesana kemari di kepalanya.

"Bukankah siang ini kamu harus berangkat ke Leicester?" tanyanya kemudian dengan suara rendah.

Aku menatap jam di dinding. Sudah jam satu siang, dan pesawat yang akan ku tumpangi pasti sudah lepas landas. Setelah banyak mempertimbangkan, akhirnya aku tidak jadi untuk pergi menemui Evan di makam-nya. Melihat keadaan David membuatku tidak tenang untuk meninggalkannya. Bagaimana aku bisa tenang pergi ke luar negeri, bahkan sampai siang ini pun aku belum pulang ke rumah. Aku masih was-was dengan kondisinya, meskipun kenyataannya ia tak selemah apa yang aku pikirkan.

"Aku tidak jadi berangkat." Aku berjalan ke arahnya dan kini kami bersisian. "Aku tak bisa meninggalkanmu."

Davi kembali melirikku dengan sudut matanya. "Aku tidak apa-apa. Thomas bisa menjagaku."

Aku berdecih. Memang Thomas akan menjaganya dengan baik, tapi apakah Thomas bisa tetap menjaga agar pria ini terus berada di kaamrnya sampai ia sembuh?

"Aku tidak yakin apa kamu akan kuat berada di kamar ini hanya semalam saja, jika aku tidak ada. Kamu pasti sudah pergi, dan entah apa lagi yang akan kamu lakukan di luar sana sehingga kamu akan melukai tubuh berhargamu lagi."

"Tubuhku tidak berharga Alinea." Sambarnya cepat.

"What?!" aku menatapnya dengan mata terbuka. wajah dengan bibir pucat itu terlihat datar, tidak menyiratkan ketakutan apapun atas apa yang baru saja dikatakannya.

"Berarti kamu sedang menyalahkan Tuhan atas hidup yang Dia berikan untukmu Dav!" sahutku meninggi. Aku benci setiap kali mendengar kalimat putus asa seperti itu.

Aku teringat terakhir kali Evan mengatakan padaku tentang makna kehidupan sebelum ia meninggalkanku untuk selamanya. Bahwa hidupnya sedang tidak baik-baik saja saat itu, bahwa ada sesuatu yang membuatnya ketakutan hingga akhirnya ia memilih untuk bunuh diri. Aku benci dengan seseorang yang menilai dirinya dan hidupnya tidak berharga ketika ia masih memiliki oranga-orang yang mencintainya.

"Aku tidak pernah menyalahkan Tuhan." Sahut David kemudian ia menggeser tubuhnya untuk menghadap ke arahku.

"Jadi apa yang baru saja kamu katakan tadi?" aku menaikkan alis. Entah kenapa akhir-akhir ini aku kesal sekali dengan pria yang berdiri di depanku ini. Aku kesal, dan ingin sekali mengabaikannya. Namun lagi-lagi aku tidak bisa.

"Lupakan." Katanya setelah sekian lama menatap bola mataku. Aku melihat keraguan di sana, namun itu hanya sekejap karena beberapa saat kemudian, ia berjalan menjauhiku kemudian duduk di pinggiran kasur.

"Dav, bisa tidak kamu menjelaskan kepadaku tentang apa yang baru saja kamu alami?" aku mendekatinya dan berdiri di depannya.

Ia mendongak menatapku. "Aku berkelahi." Sahutnya datar.

MetanoiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang