24

115 9 1
                                    

"Jangan pernah melawanku." Itulah kalimat terakhir yang Anang ucapkan padaku sebelum akhirnya pergi meninggalkan gudang tua ini. Aku bahkan melihat dengan mata kepalaku sendiri ketika anak buahnya menyeret jasad Toni pergi. Tubuh itu sudah hening tak bernyawa. Darah bercucuran dari tubuhnya yang mulai membeku.

"Bos!" Thomas berlari padaku, beberapa saat setelah Anang dan anak buahnya pergi. Di belakang Thomas, mengikuti Edward dan yang lain.

Aku tidak menjawab, hanya menunduk lesu dengan penuh keputus-asaan. Masih dengan mataku yang menggenang penuh air mata, aku menatap tanganku yang bergetar. Tangan ini kembali membunuh manusia yang tak berdosa.

"Aku membunuh lagi Thom...." Suaraku pelan dan putus asa.

"Bos....." aku tahu jika Thomas tidak tahu harus berbuat apa. Pria itu mengenalku dengan sangat baik, dan menjadi saksi kebiadabanku selama ini dalam menghilangkan nyawa seseorang.

"Mari kita bawa pergi bos dari sini." Perintah Thomas kemudian pada anak buahku yang lain.

Mereka maju kemudian menarikku agar berdiri. Aku yang sudah lemas tak bertenaga hanya terisak dan menurut ketika mereka memapahku dan membawaku keluar.

Thomas membawaku ke markas di tepi pantai.Ia memintaku menenangkan diri selama beberapa hari. Namun suasana pantai yang nyaman dan hawa yang segar tidak serta merta membuat keadaanku membaik. Berhari-hari aku mengurung diri di dalam kamar tanpa membuka gorden atau melakukan apapun. aku hanya duduk di pojok kamar sambil menekuk lutut. Mataku terpejam, dengan kepala bersandar pada tembok. Berkali-kali Thomas masuk ke dalam menawariku makan, namun selalu ku tolak dengan gelengan. Hingga akhirnya aku memintanya untuk tidak terus menerus mengangguku, karena aku butuh waktu yang sangat panjang untuk memulihkan tekanan mentalku.

Aku membenci diriku sendiri. Membenci setiap tindakan jahat yang aku lakukan pada orang-orang tak berdosa itu. entah sudah berapa kali aku menghabisi nyawa mereka dengan tanganku. Entah sudah keberapa kali aku melihat darah keluar dari tubuh-tubuh mereka karena perbuatanku, dan entah sudah keberapa kali aku mematahkan hati keluarga mereka karena tindakanku. Aku pendosa, aku pria jahat.

Akankah Tuhan masih akan memaafkanku? Akankah Tuhan masih bersedia menerima pertobatanku?

Entah hari ke berapa, tiba-tiba saja pintu terbuka dan derap langkah menyusulku. Itu bukan suara derap langkah Thomas. Karena pria itu memiliki langkah kaki yang khas.

"David....." sebuah suara lembut membuat mataku terbuka sedikit. Pandanganku kabur, namun aku masih bisa mengenali sosok yang kini duduk bersimpuh di depanku ini dengan baik. Raut wajahnya khawatir, air matanya mengucur deras membasahi pipi.

Kembali aku merasakan air mataku luruh. Ku tarik tubuh mungil yang berhari-hari tak ku temui itu, dan kupeluk dengan erat. Di dalam pelukan itu, aku menangis sejadi-jadinya. Tapi anehnya, tiba-tiba perasaanku menghangat. Aku seperti memiliki sebuah kekuatan untuk kembali menjalani hari-hariku yang sempat mati suri. Saat ia menepuk punggungku dan berkata 'tak apa-apa', seperti semua beban dan penyesalan yang bergelayut di tubuhku luruh seketika.

******

Alinea POV

Aku pikir dengan mengabaikan telepon dan chat yang David kirim akan membuatku merasa lebih baik. Namun nyatanya aku malah menyiksa diriku sendiri. Setelah malam ketika aku pergi meninggalkannya, ia mengirimu serentetan pesan bahwa ia mencariku seperti orang gila dan memintaku pulang, disusul dengan banyak sekali panggilan tak terjawab darinya. Namun keesokan harinya, aku sama sekali tak mendapatkan pesan ataupu teleponnya. Ponselku hening, seakan ia memang sudah menyerah dengan hubungan kami dan itu membuatku benar-benar menjadi sedih.

Setelah dua malam menginap di hotel, aku memutuskan untuk kembali ke rumah. Mama menyambutku dengan begitu banyak kekhawatiran di wajahnya. Setelah mengatakan beberapa hal, dan memintanya untuk tidak bertanya lagi, mama akhirnya mengerti.

MetanoiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang