34

88 8 0
                                    

Setelah pembicaraan dengan Thomas yang sangat mengena di hatiku, akhirnya aku kembali ke dalam kamar ketika matahari benar-benar sudah berada di titik cakrawala. Biasanya yang kuning keemasan semakin terlihat cantik terpantul dari air laut yaang beriak dengan tenang.

Semua terlihat begitu memikat. Anggun dengan suasana nyaman dan romantis yang begitu menentramkan hati.

Ku lihat David masih tertidur dengan tenang di kasur. Nafasnya turun naik dengan teratur. Bias matahari sore masuk lewat pintu loteng yang terbuka lebar menerpa wajahnya yang sangat tampan.

Aku tersenyum, lalu duduk di pinggiran kasur. Menatap wajahnya dengan sangat lama kemudian mengecup pipinya dengan pelan. Sebenarnya ada keraguan untuk menganggunya, karena raut wajahnya begitu damai saat terlelap seperti itu. Namun aku ingin memberinya hadiah secara diam-diam, sebab selama ini ia menjagaku dan memberikan seluruh cintanya untukku.

Rupanya dia terusik dengan ciumanku. Ia terlihat bergerak-gerak kemudian membuka mata.

"Jam berapa sekarang?" suaranya sedikit serak. Ia menoleh ke luar kemudian menegakkan badannya. "Kenapa kamu tidak membangunkanku?"

Aku tersenyum. "Thomas bilang kamu tidak pernah tidur siang. Jadi saat melihatmu tidur dengan pulas, aku membiarkan saja."

David berdecak. "Tau apa bocah itu tentangku."

Aku mencebik. Selama ini Thomas adalah orang yang selalu setia di sampingnya, jadi tidak mungkin jika pria itu tidak mengenal David dengan baik. Lagipula Thomas sudah menceritakan semuanya padaku. Dan aku cukup tersentuh dengan semua hal yang David korbankan padaku selama ini.

"Matahari sorenya sangat cantik." Gumam David kemudian. Matanya berbinar menatap matahari yang semakin turun ke cakrawala. Sebentar lagi gelap, dan kami akan segera kehilangan moment terbaik ini.

"Naiklah ke atas kasur. Mari kita menyaksikan matahari terbenam bersama-sama Alinea." David menggeser tubuhnya kemudian menyingkap selimut, memintaku untuk berbagi selimut dengannya.

Aku tidak menolak, lagipula sore ini aku tidak sedang ingin melakukan apapun. Kami berdua duduk dengan bersandar di badan kasur sambil berselimut. Salah satu tangan David merangkulku, sehingga aku bisa dengan nyaman dalam pelukannya.

"Sebenarnya sore tadi aku ingin mengajakmu berjalan-jalan di pinggir pantai. Tapi aku malah tertidur." David menciumi pucuk kepalaku.

"Tidak apa-apa, aku sudah melakukannya sendiri." Jawabku.

"Benarkah?"

"Ya, aku bahkan bertemu dengan Thomas di sana." Aku menatap ke arah laut. "Aku baru tau apa yang terjadi dengan Thomas. Aku turut prihatin dengan apa yang dialami kakaknya."

"Ya, aku pun merasakan hal demikian. Ia harus kehilangan satu-satunya keluarga dengan cara yang tak ia duga." Sahut David. "Kakaknya bernama Senja, jadi ia akan datang ke pantai di waktu matahari sore bersinar begitu indah untuk melepas rindu pada kakaknya tercinta."

Thomas tidak menceritakan hal ini padaku tadi. Mungkin ia pikir aku tak perlu tau.

"Aku menyesal telah dibesarkan oleh pria seperti Anang." Gumamku kemudian. "Tega sekali ia menyakiti perempuan yang mencintainya dan tidak menginginkan darah dagingnya." Aku kembali tersulut emosi setiap mengingat namanya, namun di waktu yang bersamaan aku juga mengingat Rose. Sebesar apapun aku membenci keluarga itu, namun itu tidak berlaku untuk Rose. Alih-alih membenci, aku justru merindukannya. Bagaimana kabarnya sekarang? Apa ia kebingungan mencariku? Apa ia tidak makan dan semakin kurus?

"Bagaimana kalau sore ini kita tidak usah membicarakan tentang Anang ataupun orang yang sudah menyakiti kita?"

"Kenapa?" aku menoleh.

"Aku ingin menikmati senja ini bersamamu tanpa memikirkan hal-hal lainnya. Hanya ada kita berdua, dan perasaan kita."

"Baik. Aku setuju. Mari kita menyaksikan matahari terbenam berdua." Aku kembali melempar pandanganku pada matahari yang semakin redup. Bola raksasa itu terlihat semakin jelas ketika hampir tenggelam.

"Alinea......" Suara David membuyarkan lamunanku.

"Hmmm...."

Hening untuk beberapa saat.

"Bagaimana kalau kita menikah."

"HA?!" aku menoleh dengan cepat. Terkejut dengan kalimat ajakan David yang bernada biasa saja namun penuh dengan makna mendalam.

"Menikah?" aku mengerutkan keningku." Apa kamu masih setengah tidur Dav?"

David mendengus. "Bagaimana bisa kamu menjawab ajakanku dengan kalimat seperti itu?" protesnya. "Aku sudah bangun Alinea, dan aku mengatakannya dalam keadaan sadar."

Aku terdiam. Tidak percaya bahwa David melamarku ketika kami sedang duduk berselimut di atas kasur.

"Bagaimana?"

"Apa tidak ada tempat yang lebih baik dari kasur untuk melamar Dav?" aku pura-pura kesal. Padahal sebenarnya hatiku berbunga-bunga sekarang. Aku bahkan tidak peduli jika ia hanya melamarku di kasur seperti ini.

"Awalnya aku ingin melamarmu di pantai sore tadi. Tapi, kamu malah membiarkan tertidur." Nadanya terdengar kecewa. "Dan aku tidak bisa menunggunya sampai besok sore lagi."

Aku menahan senyum geli.

"Apa kamu sudah minta ijin dengan papa dan mamaku?"

"tentu saja!" Sahutnya cepat. "Aku bahkan sudah mengatakan niatku semenjak dulu. Saat kita masih SMP. Setiap kali ke makam, aku selalu mengatakan pada mereka bahwa aku akan menikahimu ketika kamu sudah dewasa."

Aku terdiam. Lagi-lagi terharu dengan apa yang sudah dilakukannya.

"bagaimana?" David menarikku agar kami saling berhadapan. "Aku sedang tidak main-main dengan ucapanku Alinea." Ia kemudian merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah cincin dari sana.

"benda ini sudah ku bawa kemana-mana sejak kemarin. Awalnya aku ingin melamarmu di makan kedua orang tuamu tadi siang. Namun saat melihatmu bersedih seperti tadi, rasanya kurang pantas saja aku mengutarakan keinginanku disana. Lalu aku berinisiatif untuk melamarmu di pantai sore ini, namun aku malah tertidur sangat nyenyak."

Aku tertawa kecil.

"Jadi, mungkin ini waktu dan tempat yang tepat. Di atas kasur, dengan pemandangan matahari yang sudah hampir terbenam." Ia meraih jemariku dan mengelusnya dengan perlahan. "Mungkin bagimu tidak romantis. Namun percayalah bahwa aku benar-benar gugup saat ini."

"Aku tidak bisa menunggu sampai besok. Karena waktu yang kita habiskan setiap detiknya begitu berharga. Aku takut, besok Anang menemukan persembunyian kita lalu dia memisahkan kita. Jadi aku ingin menjadikanmu milikku sepenuhnya. Sehingga apapun yang terjadi nanti kita bisa menghadapinya bersama-sama sebagai suami istri."

Aku mengelus-elus lengan David, ingin mengatakan banyak hal namun hanya tercekat di tenggorokan. Matanya terlihat berkaca-kaca menahan tangis. Mungkin ia terharu juga dengan apa yang dikatakanya.

"Aku pun juga berfikir demikian." Sahutku pelan.

"Jadi kamu menerima lamaranku?"

Aku menghapus air mata yang entah sejak kapan mengalir begitu saja di pipi. Aku tau David bukan orang romantis dan banyak bicara. Dan aku yakin ia membutuhkan banyak keberanian dan persiapan untuk mengatakan kalimat panjang seperti itu. Jadi mana mungkin aku menolaknya. Karena aku yakin tidak akan ada orang lain yang bisa seperti dia. Yang setia menemaniku, sabar menghadapiku dan berharap dengan tulus padaku.

"Iya, aku menerimamu David, mari kita menikah."

Mata David membola, senyum lega terpancar jelas dari raut wajahnya. Ia lantas segera memakaikan cincin yang sejak tadi dipegangnya ke jari manisku.

Setelah cincin itu terpasang dengan cantik di jari manisku, David langsung mencium keningku, kemudian turun mencium mataku, hidungku, kedua pipiku kemudian berhenti di bibirku. Ia melumat bibirku dengan lembut.

"Terimakasih...." katanya setelah melepaskan ciuman kami. Ia merangkum pipiku dengan tangannya dan menempelkan hidungnya di hidungku.

Aku mengangguk dengan tersenyum, sebelum akhirnya kami berciuman lagi.

******* 

MetanoiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang