36

104 9 0
                                    

Aku duduk di depan cermin dengan tenang sementara Rose sibuk memoleskan makeup di wajahku. Thomas menjemputnya pagi-pagi buta sekali agar ia bisa mendandani serta memberiku dukungan. Sejujurnya aku sedikit tegang dan aku butuh Rose disampingku.

Rose menyelesaikan polesan makeup terakhirnya kemudian tersenyum.

"Kamu sangat cantik." Bisiknya dengan mata berkaca-kaca. "Jika saja Riana dan Irawan tau bahwa putri mereka sangat cantik saat pernikahannya, mereka pasti akan sangat bahagia."

Aku meremas tangan Rose untuk menenangkannya. Aku tidak ingin ia kembali merasa bersalah dengan apa yang sudah terjadi. Meskipun dalam hati aku juga merasa sangat sedih karena di hari terbaikku ini mereka tidak bisa bersamaku, namun aku yakin mereka sedang melihatku di surga sana.

"Aku punya sesuatu untukmu sayang....." Rose berjalan menjauhiku dan mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah kalung dengan liontin berbentuk buku. Liontin itu menegaskan bahwa sang pemiliknya adalah seorang penulis.

"Ini untukmu." Rose memperlihatkannya padaku ketika ia sudah kembali berada di belakangku. Aku melihatnya memakaikan kalung itu lewat pantulan cermin.

"Terimakasih ma." Bisikku saat benda itu sudah melingkar di leherku.

"Mama memang bukan orang baik, mama juga bukan orangtua kandungmu sayang. Namun mama ingin kamu selalu mengingat mana setiap kali kamu melihat kalung itu. "

Aku mengelus liontin itu pelan. Kalung itu cukup cantik menghiasi leherku.

"Rose adalah mamaku. Siapa bilang dia orang lain?" aku tersenyum. "Mama adalah wanita terbaik. Bahkan aku tidak mengingat wanita selain mama. Yang nengasuhku sejak kecil dan memberikan cintanya padaku."

Rose menunduk. Ia kembali menangis.

"Aku mencintai mama. "

Rose menyeka air matanya kemudian memelukku dari belakang. "Terimakasih anakku, Alinea sayang.... " katanya penuh syukur.

"Apa kamu sudah siang sayang?" nenek tiba-tiba muncul dari balik pintu. "Calon suamimu sudah tidak sabar." Kekahnya kemudian.

Aku tersenyum geli. Tidak bisa membayangkan ekspresi David yang gelisah menungguku.

"Apa semua sudah siap nenek?" tanyaku kemudian.

Nenek mengangguk. "Pendeta sudah berada di sana nak."

Mendengar bahwa pendeta sudah berada di sana, aku kembali gugup. Semalam aku memang kesulitan tidur memikirkan acara yang akan berjalan hari ini. Perasaanku campur aduk antara tidak percaya bahwa hari ini aku mengakhiri masa lajang juga perasaan was-wasku jika Anang akan menemukan kami dan merusak acara.

"Jangan gugup." Rose seolah mengerti kekhawatiranku. "Kamu sudah cukup sempurna hari ini sayang. Jangan pikirkan hal lain dan fokus pada pernikahanmu."

Aku mengangguk. Sedikit merasa lega mendengar Rose berusaha menghiburku. Perempuan itu lantas membantuku memakai veil kemudian setelah itu Rose dan nenek mengapitku, membawaku menuju altar pernikahan.

Pernikahan kami jauh dari kesan mewah dan meriah. Di kursi hanya ada nenek, Rose, Thomas, Edward dan beberapa anak buah David. Namun pernikahan yang indah bukan dari tempatnya yang mewah dan undangan yang berlimpah. Melainkan dari perasaan cinta dari kedua mempelai dan kesiapan mereka untuk menjalin hubungan baru sebagai suami istri.

"Kamu cantik." Puji David dengan berbisik ketika kami saling berhadapan.

"Kamu juga." Aku tersenyum. Meskipun aku sudah sering melihat David mengenakan kemeja dan jas, namun kali ini ia terlihat berkali-kali lipat lebih tampan dari biasanya. Tuxedo hitam itu membuat David terlihat lebih segar dan juga suami-able.

MetanoiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang