07

266 20 1
                                    

Mobil hitam itu melaju membelah jalan raya yang mulai sepi dengan aku dan David yang berada di kursi belakang, dan Thomas sebagai pengemudi. Pria itu tampak tenang dengan fokus pada jalanan di depannya, sedangkan aku sejak tadi malah merasa khawatir. David tidak sadarkan diri di sampingku. Sejak tadi ia hanya mengerang-erang tak berarti. Kepalanya sudah terkulai lemas di pundakku.

"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanyaku khawatir. Tatapanku tertuju pada Thomas.

"Bos hanya mabuk nona." Sahut Thomas tanpa menoleh ke belakang. Aku agak sedikit merasa aneh dengan panggilan 'bos' yang Thomas berikan untuk David. apa sebenarnya pekerjaan David hingga ia bisa dipanggil seperti itu?

"Bos? Dia bos kamu?" tanyaku dengan salah satu alis terangkat. "Memang apa pekerjaan David sampai kamu memanggilnya dengan sebutan bos?"

Thomas hanya berdehem. "Maaf nona, saya tidak bisa mengatakannya."

Aku memutar bola mata sebal. Apakah di mata David aku adalah orang lain, sehingga untuk urusan pekerjaan saja ia sampai menutupi dariku?

"Apakah kamu mengenal pria bernama Sky dan kompoltannya tadi?" tanyaku beberapa saat kemudian. Aku berharap Thomas mau membuka sedikit rahasia ini.

"Tidak begitu nona." Sahut Thomas lugas.

"Apa pekerjaan dan hubungan mereka dengan David?"

Thomas terlihat menatapku dari spion tengah sebelum akhirnya kembali fokus pada jalan raya di depan.

"Sebaiknya nona menjauhi mereka." Sahut Thomas dengan ambigu.

"Kenapa aku harus menjauhi mereka?"

"Mereka bukan orang baik. Tuan pasti tidak suka jika nona berhubungan dengan mereka."

Aku menjadi semakin kesal dengan jawaban Thomas.

"Kenapa kalian memintaku untuk menjauhi mereka dan mengatakan bahwa mereka bukan orang baik. Jadi, aku juga harus bersikap waspada dengan kalian? Kalian juga terlihat tidak baik. Memakai jas serba hitam, dengan wajah flat seperti itu. apakah aku juga harus mencurigai kalian?!" seruku frustasi.

Sedangkan Thomas hanya kembali berdehem. Rupanya ia tidak memperdulikan kemarahanku.

Aku menatap David dengan sudut mataku. "Akh, kamu juga menyebalkan. Seandainya aku tidak penasaran denganmu, aku juga tidak akan menemui mereka. Sialan!" aku melempar pandang ke luar jendela mobil. Ingin sekali aku meninggalkannya dan kembali ke rumah sakit. Tapi dia kakakku, dan aku tidak tega melihatnya terkapar sendirian seperti itu.

"Apa kita membawanya pulang saja?" tanya Thomas kemudian setelah aku diam cukup lama, sedang berperang dengan monolog di kepalaku.

Aku tidak mungkin membawa pulang David dengan keadaan seperti ini. Akan banyak pertanyaan dari mama ketika melihat David mabuk apalagi saat ini aku bersamanya. Mama akan terus bertanya tentang ini—itu, apa—bagaimana, hingga akhirnya ia akan merajuk, menangis dan memaksaku untuk tidak bekerja jika aku menutupi segala sesuatu darinya.

"Tidak! Jangan!" elakku cepat, bersamaan dengan tubuh David yang bergerak dan ia semakin memasukkan kepalanya di ceruk leherku. Nafasnya yang panas menyapu leherku yang terbuka, membuatku merasa geli.

"Kita....ke hotel saja." Kataku kemudian. Ini adalah pilihan yang tepat. Setidaknya mama tidak akan tahu dengan apa yang terjadi malam ini. Sebab setaunya aku sedang bekerja untuk shift malam. "Tapi sebelumnya, kita harus mampir apotek dulu. Ia perlu minum obat agar panasnya turun."

"Baik nona." Thomas menerima perintahku tanpa memberikan penawaran. Ia lalu menginjak gas dan melajukan mobilnya lebih cepat dari sebelumnya.

*****

MetanoiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang