01

687 23 0
                                    

Aku mengusap wajahku, dan menggeliat ketika mendengar suara pintu kamar di sebelahku terbuka. Dengan cepat aku duduk, menatap jam dinding di hadapanku dengan mata menyipit. Sudah jam satu malam, dan penghuni kamar sebelahku itu baru saja pulang?

Dengan langkah gontai aku membuka pintu kamarku dan berjalan ke kamar sebelah. Tidak biasanya ia pulang selarut ini, jika tidak ada hal penting yang dilakukannya. Maka untuk memastikannya, aku harus bangun dan bertanya langsung. Dia mungkin akan marah dan mengataiku bawel, suka ikut campur atau lainnya. Tapi aku tidak peduli.

Pintu kamar itu tidak tertutup dengan sempurna. Maka tanpa perlu bersusah payah, aku langsung membukanya dan mendapati sosok itu tengah meringis-ringis di depan cermin sambil memegangi wajahnya.

"Astaga!" pekikku tertahan kemudian berjalan mendekatinya.

Dia sedikit terlonjak melihat kedatanganku. Mungkin karena aku tiba-tiba saja berteriak. Namun itu tidak lama, karena ia kembali mengacuhkanku dan sibuk menatap cermin sambil memandangi luka-nya. Mungkin ia sedang membanggakan diri dengan luka-luka itu.

Tanpa mengatakan apapun, aku langsung menuju dapur. Menuruni tangga dengan setengah berlari, mengambil kotak P3K kemudian kembali ke kamarnya lagi. Meskipun sudah sering aku melihat wajahnya babak belur seperti itu, namun aku tetap saja selalu khawatir. Bagaimana jika hidungnya patah? Atau rahangnya? Atau kepalanya ternyata terjadi perdarahan dan ia tidak menyadarinya? Selalu pertanyaan seperti itu yang muncul setiap kali ia pulang dengan wajah penuh luka.

"Sini." Aku menarik tangannya agar menghadap ke arahku, sementara aku duduk di pinggiran kasur dan membuka kotak p3k itu dengan cekatan.

"Aku bisa sendiri." Decaknya ketika aku menarik dagunya untuk mendekatiku. Wajahnya terlihat sebal. Namun aku kembali tidak peduli. Aku menekan-nekan luka itu sampai ia mendesis-desis perih. Biarkan saja, salah sendiri kenapa selalu melukai wajahnya?

"Berkelahi lagi? Sama siapa? Kali ini sama penjual tahu bulat?" tanyaku. Mataku awas menatap luka di bagian pipi kanannya. Dibanding yang lain luka ini sedikit lebih dalam. Darah masih menetes.

"Hmmm....." dia hanya menjawab acuh tak acuh. Pandangannya tertuju ke sembarang tempat, tidak mau menatapku.

"Jawab yang bener kalau ada orang tanya!" aku menekan luka itu lebih kuat dan membuatnya berteriak.

"Sakit Lin!" gerutunya sambil mendesis.

"Makanya jawab jujur, kali ini jangan bohong!" hardikku.

Pria di depan ini adalah David—kakakku. Tapi aku tidak pernah memanggilnya kakak, sebab usianya hanya terpaut tiga tahun dariku. Entah apakah mama tidak menggunakan alat kontrasepsi ketika berhubungan dengan papa, sehingga ketika David baru berusia tiga tahun, ia sudah memiliki adik yaitu aku.

Sudah sering David pulang dengan luka lebam seperti ini di wajahnya. Namun setiap aku tanya luka ini ia dapat dari mana, ia selalu menjawab sekena-nya. Katanya berkelahi dengan tukang tahu bulat, atau dengan satpam kompleks atau bahkan dengan anjing tetangga. Mana yang benar? Menurutku tidak ada yang benar. Mana mungkin tukang tahu bulat jualan tengah malam buta, dan mana mungkin juga anjing tetangga yang tak memiliki tangan bisa meninju wajahnya berulang kali. Dan satpam komplek? Aku sudah pernah bertanya, dan satpam itu itu malah menuduhku fitnah.

"Tidurlah, besok shift pagi kan?" David membuka bajunya ketika aku sudah membereskan peralatan P3K.

Aku melihat punggungnya sekilas. Ada tato naga di belakang punggungnya yang bidang itu.

"Iya. besok aku tugas di IGD." Sahutku dengan nada malas. "Lalu sorenya harus ke klinik."

Dua tahun sudah aku bekerja sebagai dokter umum di salah satu rumah sakit swasta di kota ini. "Aku harus bangun pagi, tapi sialnya di tengah malam buta seperti ini ada orang mendobrak pintu dan wajahnya babak belur."

MetanoiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang