Hari yang tak pernah Jinan harapkan akhirnya tiba juga. Dimana, Cindy mau tak mau harus meninggalnya disini, bersama segala kenangan yang sudah mereka bangun selama kurang-lebih satu tahun ini.
"Ada yang ketinggalan gak?" tanya Jinan sebelum benar-benar mengunci apartemen milik gadisnya.
Gadis yang ditanya itu menggeleng, pertanda ia telah siap berangkat menuju bandara.
Jinan pun mengunci pintu apartemen itu. Rasanya hari ini pundaknya terasa begitu berat sekali. Kepergian Cindy tak pernah ia harapkan, namun berusaha sekuat tenaga untuk menerimanya dengan lapang dada.
Mereka sudah berada di dalam mobil yang di kendarai oleh Jinan. Keduanya sama-sama diam, bingung akan memulai pembicaraan darimana. Sedangkan, hanya beberapa jam lagi mereka berpisah.
Rasanya berat sekali meninggalkan Jinan disini. Ia ingin terus bersama Jinan, setiap hari. Tetapi, ada cita-cita yang harus Cindy wujudkan.
Helaan nafas berat terdengar dari bibir Cindy, dan itu membuat Jinan menoleh sekilas.
"Berat banget kayanya? Takut kangen aku ya?" Jinan melempar lelucon yang sama sekali tak lucu itu.
"Iya, kenapa?" Cindy menunjukkan wajah sendunya dengan air mata yang sudah menggenang di pelupuk mata.
Jinan mengambil tangan Cindy, mengusap punggung tangannya lembut. "Aku tau ini berat buat kita, Cin. Tapi aku yakin, baik kamu maupun aku pasti bisa sama-sama lewatin semua ini. Kita perjuangin hubungan ini berdua. Kita perlu saling terbuka satu sama lain, saling percaya satu sama lain. Kunci langgengnya hubungan itu ya percaya satu sama lain."
Tumpah sudah air mata Cindy.
"Kok nangis sih?" Jinan sedikit panik, menepikan sejenak mobilnya.
Ia pun memeluk tubuh Cindy dengan erat, mengecup bahu Cindy beberapa kali.
"Jangan berubah ya Ji?"
Jinan mengangguk, mengusap air mata Cindy dengan ibu jarinya.
"Udah tenang? Bisa lanjut sekarang?" tanya Jinan memastikan.
Cindy mengusap sisa-sisa air matanya, lalu mengangguk pelan.
Jinan kembali melajukan mobilnya menuju bandara. Orang tua Cindy sudah menunggu disana, tak enak jika mereka terlalu lama menunggu.
Setelah hampir satu jam perjalanan mereka tempuh. Akhirnya keduanya tiba di bandara Soekarno-Hatta. Keduanya disambut hangat oleh orang tua Cindy.
"KAK CINDY!!" sebuah teriakan anak kecil.
Jinan menoleh, matanya membalalak melihat Eve berlari kearahnya, lebih tepatnya kearah Cindy.
"Loh? Kakak kok disini?" tanya Jinan pada Veranda yang sudah tiba di hadapannya.
"Memangnya gak boleh?" tanya Veranda.
"Y-ya bukan gitu, Kak. Maksud aku–"
"Aku tau Kak Ve mau kesini, kemarin dia maksa pengen anter aku ke bandara. Udah aku tolak karena takut ngerepotin, tapi ternyata Kak Ve tetep kesini. Makasih banyak ya Kak Ve.." sela Cindy sekaligus memberikan penjelasan.
Veranda tersenyum. "Gak usah bilang makasih, sayang." jawab Veranda mengundang senyum lega Jinan.
"Kak Cindy kok sekolahnya jauh banget sih, nanti aku kangen." rengek Eve yang berada di gendongan Cindy.
"Nanti kan Kakak pulang."
"Tapi lama.." rengeknya.
Orang tua Cindy yang melihat itu hanya terkekeh. Ingin sekali ia menggendong cucu, tapi Tuhan belum memberikannya, karena anak sulung mereka masih harus melanjutkan pendidikannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Waktu; Cinan (Selesai)
Fiksi Penggemar"Aku berharap mampu memundurkan waktu sehingga aku bisa bertemu denganmu lebih awal dan meluangkan waktu lebih banyak bersamamu."