Epilog

1K 147 15
                                    

Suara tangisan bayi memenuhi ruangan bersalin malam ini. Raut bahagia terpancar di wajah beberapa manusia yang ada didalam ruangan bersalin tersebut.

Tangis seorang ibu pecah ketika melihat wujud dari bayi yang selama sembilan bulan berada di kandungan nya.

"Bayi nya perempuan bu, beratnya 3,6 kg. Semuanya normal."

Masih dengan tatapan tidak percayanya, Jinan mengambil alih bayi itu ke dalam gendongannya. Air matanya menetes saat itu juga.

Dengan segala ketidakmungkinan yang sudah membuat Jinan dan Cindy pasrah, dari mulai Jinan di vonis tidak subur, dan masih banyak cobaan lainnya. Akan tetapi, Tuhan maha adil, akhirnya setelah sekian lama menanti buah hati, Tuhan menitipkannya seorang buah hati yang sangat cantik.

Tidak ada yang bisa menggambarkan rasa bahagianya ketika melihat makhluk kecil yang selama ini selalu ia nanti-nantikan sekarang sudah berada di gendongan nya.

Jinan mencium dahi putri kecilnya dengan lembut. Senyum nya tidak pernah luntur, apalagi ketika sang putri membuka matanya perlahan.

Mata bulat itu, mirip sekali dengan mata miliknya. Hidung nya mancung, seperti hidung milik Cindy. Putrinya memiliki wajah yang memadukan kecantikan Cindy dan ketampanan Jinan. Tidak lupa, bibir bayi itu persis seperti Genta.

Harus dengan cara apalagi Jinan mengucap syukur kepada Tuhan karena telah memberikannya kebahagiaan sebesar ini?

"Thank you for bringing this beautiful daughter into the world, Cindy."

"Berterimakasihlah kepada Tuhan, sayang."

"Kamu mau kasih nama siapa?"

"Semesta Hansara Adijaya."

***

4 tahun berlalu..

"Dek, itu punya abang. Tolong jangan di mainin." peringat Genta kepada adiknya.

Namun, adiknya tersebut tidak mau mendengarkan apa kata Genta. Anak berumur 4 tahun itu masih tetap memainkan barang milik Genta.

"Hansara, bisa denger abang?"

Hansa menoleh pada Genta. "Aku pinjam, nanti aku kembalikan." jawab Hansa dengan lancarnya.

"No. Abang tau kamu."

"Bang Ge, aku hanya ingin tau gimana caranya memakai pulpen ini. Apa gak boleh?"

"Bukan gak boleh, abang gak mau pulpen itu hilang. Baru kemarin ayah beliin itu buat abang."

"Kalo hilang. Abang bisa minta beliin lagi ke ayah. Kenapa sulit sekali?"

Anak lelaki berumur sebelas tahun itu menghela nafasnya. "Sini, duduk di deket abang."

Akhirnya Hansa menggeser posisi tubuhnya menjadi di samping Genta.

"Adek tau gak, ada sesuatu yang gak bisa di beli dengan uang?"

Hansa dengan polosnya menggeleng.

"Waktu,"

"Terus apa hubungannya dengan pulpen ini?" tanya Hansa bingung.

Genta terkekeh kecil, meraih pulpen miliknya dari genggaman Hansa. "Ayah sudah mau meluangkan waktunya untuk membeli pulpen ini. Jadi, abang harus menjaga pulpen ini dengan baik."

Hansa mengangguk kecil, Genta pun mengusap kepala adiknya dengan penuh kasih sayang.

Hansa memang berbeda dengan anak kecil seumurannya. Dia sudah bisa berbicara dengan lancar tanpa cadel sedikitpun. Anak itu juga sangat cerdas, selalu nyambung ketika di ajak mengobrol. Bahkan ke hal yang cukup serius sekali pun. Dia selalu mengerti situasi sekitarnya, dan akan selalu bertanya ketika melihat sesuatu yang tidak ia ketahui.

Waktu; Cinan (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang