CHAPTER 6 : Memutuskan Untuk Memulai

105K 6K 271
                                    

Perjalanan dari Bandung menuju Jakarta hanya diisi dengan suara radio serta hening panjang dari sepasang anak manusia itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Perjalanan dari Bandung menuju Jakarta hanya diisi dengan suara radio serta hening panjang dari sepasang anak manusia itu. Tidak ada percakapan yang terlibat, selain hembus napas dan tatap fokus pada jalan tol yang berada di depan. Lalu, samar-samar langit tampak meredup. Gulungan abu-abu mulai menelan sinar senja yang tadinya merekah merah. Gistara menghitung dalam sisa waktu itu, menebak bila tak lama lagi rinai kecil akan segera turun menghantam semesta.

Gistara tersenyum...

Benar saja, suara rintikan mulai terdengar. Sayup-sayup hingga berubah menjadi bising kala linangannya menghantam pada kap mobil dan menabrak udara atas. Suara radio yang memutar lagu-lagu favorit mendiang Aruna perlahan memudar, tertelan bersama hantaman air yang saling beradu riang.

Lalu, dalam irama acak itu pikirannya beranjak pada kejadian beberapa jam yang lalu. Pada waktu di mana nama Anara Gauri Shanara disebut, suasana mendadak sunyi... Seperti tak ada yang berani bersuara kala menyadari mereka telah salah berbicara. Entah siapa Anara, namun yang pasti perempuan itu ada hubungannya dengan Aruna. Sebab, nama belakang yang disandang oleh keduanya adalah sama.

Ah, satu lagi. Ketika mereka berpamitan hendak pulang ke Jakarta lebih dulu kepada Papi dan Bunda, satu kalimat muncul dari Tante Belina menginterupsi keterdiaman dari Kenandra.

“Harusnya kamu menerima Anara saja sebagai istri kamu. Setidaknya, kamu masih bisa melihat Aruna pada wajah milik Anara,” katanya yang malah membuat raut wajah Kenandra semakin datar tak terbaca.

“Anara itu...siapa?” Pertanyaan itu lolos,  dengan nada rendah yang suaranya hampir melebur bersama gerisik air hujan.

Namun, rupanya Kenandra masih mampu mendengarnya. Pria itu menoleh sekilas kepada Gistara. Alih-alih menjawab tanya, ia malah kembali mengalihkan tatap kepada jalanan depan. Hembus napas berat terdengar menyusul, Kenandra tampak berusaha untuk menenangkan dirinya.

Situasi itu tak lekat dari pandangan netra Gistara. Seolah mengerti, ia memilih menelan kembali pertanyaan-pertanyaan lain yang menyebar pada kepalanya. Membiarkannya luruh bersama linangan air yang semakin lama semakin deras mengguyur di sepanjang Tol Cipularang.

°°°

Pukul tujuh lewat lima belas menit mereka sampai. Tiga setengah jam perjalanan nyatanya cukup melelahkan, apalagi kondisi hujan deras dan jarak pandang semakin menipis dengan kelap-kelip lampu hazard yang menyilaukan mata. Kenandra turun terlebih dahulu, meninggalkan Gistara dengan kalimat yang seketika menghangatkan dada.

“Jangan turun dulu. Saya ambilkan payung di bagasi belakang,” katanya. Lalu, Kenandra beranjak. Membuka pintu kemudi, membiarkan tubuhnya menabrak rintik-rintik air yang masih sederas tadi.

Sebuah payung warna putih gading bergambar bunga seruni dengan tulisan nama seseorang di bawahnya itu menarik perhatian Gistara untuk sejenak. Ia menatap lama di sana, membuat Kenandra seketika tersadar dengan arah tatapan itu.

DESIDERIUM (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang