CHAPTER 11 : Desir Pagi Hari

94.6K 5.5K 116
                                    

Gistara terbangun tepat ketika jarum jam baru saja berlari meninggalkan angka dua belas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gistara terbangun tepat ketika jarum jam baru saja berlari meninggalkan angka dua belas. Degup dan deru napas rasanya bergumul dalam buruan ketakutan kala mimpi itu membawanya pada ingatan lama yang keberadaannya tanpa sengaja ia padamkan.

Lautan membiru yang meraup tubuhnya seolah-olah masih terasa begitu nyata. Gelombang air yang datang bergulung-gulung, suara teriakan yang samar-samar dan penuh ketakutan. Lalu, tangisan anak-anak dan para orang tua yang terdengar pilu membiru hingga membelah samudera luas. Dan... terakhir yang ia ingat adalah suara dentuman yang beradu nyaring juga kilatan cahaya terang datang sebagai penutup kesadaran diri kala itu.

Gistara termenung dalam hening. Kepalanya memutar tanya yang sayangnya tak akan pernah menemukan balas. Mengapa mimpi itu kembali hadir? Mengapa ia selalu ketakutan? Dan mengapa ia tak pernah menyukai laut kala malam tiba?

Menatap ruang-ruang rapat bernuansa putih gading, Gistara memejamkan kembali kelopak matanya untuk sejenak. Ada asa yang diam-diam ia bisikkan, semoga ini yang terakhir. Semoga mimpi itu...juga mimpi buruk lainnya tak lagi datang mengusik lelapnya.

"Kamu bangun?" Itu suara Kenandra. Dengan serak yang terdengar amat kentara, Gistara yakin bila lelaki itu juga tengah terbangun sama seperti dirinya.

"Aku ganggu tidur kamu ya?" Ia membalas tanya.

Gelengan pelan diberikan Kenandra sebagai jawaban. Lelaki itu menggeser tubuhnya, merapatkan jarak yang tersisa di antara mereka. Netranya yang tampak sayu menatap teduh kepada istrinya. "Kamu sudah baikan?"

Tentu saja, pertanyaan itu menimbulkan kebingungan dari dalam dirinya. "Memangnya aku kenapa?" pikirnya mengingat-ingat.

"Ah-" Ia mengingatnya. Waktu di mobil. "Aku nggak apa-apa."

"Gistara..."

"Beneran, Kak."

°°°

Perdebatan malam tadi berlangsung agak lama. Bagaimana ia berusaha menjelaskan kepada Kenandra bahwa ia baik-baik saja. Ia tidak apa-apa, dan seharusnya memang seperti itu. Dan pagi ini mereka berencana untuk pergi berkencan seperti yang sudah lelaki itu janjikan. Berkeliling Monas lalu menaiki bus tingkat memutari Kota Jakarta.

Suara gemericik air dari dalam kamar mandi yang beradu dengan senandung lagu indie terdengar memenuhi ruangan kamar milik mereka. Hari masih terlalu pagi juga rintik gerimis yang datang sejak semalam masih juga enggan pergi, namun entah mengapa lelaki itu malah sibuk berkutat dengan air mandi yang telah terhitung sejak satu jam yang lalu.

"Mas Kenandra masih lama nggak?" teriaknya dengan suara nyaring agar sampai kepada sang pemilik nama.

Jangan heran, perdebatan semalam juga menghasilkan keputusan final bila Gistara harus memanggil Kenandra dengan panggilan 'Mas'. Katanya, kalau Gistara memanggil dirinya dengan sebutan 'Kak' lelaki itu merasa sangat tua dan rasanya seperti menikahi anak kecil ingusan yang tak mengerti apa-apa. Tapi dia memang anak kecil 'kan? Usia mereka aja terpaut lumayan jauh. Ya terserah lah, Gistara ikut saja meskipun ia merasa geli.

DESIDERIUM (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang