Pagi-pagi sekali Kenandra sudah bangun. Sedang menunggu Gistara yang masih berjibaku dengan outfit di depan cermin.
“Ih, aku gendutan ya?”
Ya iya lah kan lagi hamil.
“Enggak kok. Kamu nggak gendutan,” jawab Kenandra sembari bersandar pada kusen pintu. Tangannya bersedekap menatap istrinya yang sudah dua puluh menit mematut diri di depan kaca.
“Masa sih? Tapi sama pertama kali kita ketemu gendutan mana?”
Perempuan kenapa sih?
“Sama aja, Ra.”
“Berarti kamu ngatain aku gendut dari dulu?” Gistara berujar sembari melempar tatapan kesal.
Tuh kan salah jawab.
Kenandra segera mengangkat kedua tangannya ke atas. “Enggak maksudku. Dulu kamu ramping kok. Seksi. Nah kalau sekarang juga masih seksi cuma—“
“Cuma apa?” serobot perempuan itu memotong ucapan.
“Sedikit montok,” ujarnya melanjutkan.
“Halah bilang aja aku gendut. Nih ya, ini itu karena ulah kamu aku jadi kelihatan gendut gini,” celotehnya tak selesai-selesai.
Sedangkan Kenandra, pria itu memijit keningnya yang terasa sedikit pening. Menghadapi mood Gistara yang sedang hamil adalah tantangan juga anugerah bagi Kenandra. “Ya maaf, Ra,” katanya dengan suara rendah.
“Tapi, Ra. Kamu pas lagi hamil begini malah kelihatan lebih seksi dan —“ Kenandra menggantung kalimat itu. Sedangkan Gistara menunggu lanjutannya.
“Lebih menggairahkan,” bisiknya dengan suara lebih rendah.
“Apaan sih. Dasar mesum!” tuduhnya yang seketika memantik tawa kecil dari Kenandra.
“Yuk lah, Ra. Keburu panas lho nanti.”
“Iya. Lima menit lagi.”
Lima menit lagi katanya, padahal ia sudah mengatakannya selama lima kali dari tadi.
°°°
Berjalan-jalan keliling komplek adalah sesuatu yang baru bagi Kenandra. Beberapa kali ibu-ibu datang menyapa. Lalu berbasa-basi dan bertanya berapa usia kandungan istrinya. Kemudian setelahnya mereka mengucapkan selamat juga berbagi pengalaman kala mereka harus begadang setiap hari sebab sang bayi terbangun tanpa prediksi.
Sejujurnya Kenandra menunggu-nunggu momen itu. Momen di mana ia dan Gistara terjaga berdua sebab tangisan anak mereka. Momen di mana ia akan menunggui Gistara menyusui bayi mereka. Juga momen-momen lain yang diam-diam ia doakan semoga ia dapat merasakannya bersama Gistara.
Melupakan sejenak tentang berkas-berkas perceraian yang kini sudah bersiap untuk dibawa ke pengadilan agama. Sebab setelah Aurora lahir, mimpi-mimpi ini akan segera berakhir. Kebahagiaan semu yang ia rasakan akan kembali direnggut tanpa bisa ia cekal. Namun, tak apa. Kehadiran Aurora adalah anugerah sekaligus fitrah yang kelak akan menghadirkan banyak bahagia. Tidak apa ia kembali sendirian. Sebab pada akhirnya ia memang sudah lama ditakdirkan seperti demikian.
KAMU SEDANG MEMBACA
DESIDERIUM (SELESAI)
RomanceGistara Prameswari mengira bahwa mencintai pria yang belum selesai dengan masa lalunya akan semudah seperti yang ia pikirkan. Namun, nyatanya tak sesimpel itu kala bayang-bayang masa lalu selalu datang menghantui pernikahan mereka. "Apa kamu nggak...