“Dari mana, Ra?”
Gistara sampai di rumah tepat ketika senja telah tenggelam di ujung barat. Meninggalkan gelap yang perlahan naik merayapi semesta. Lalu kemudian, sebuah suara dari seseorang yang sedari tadi memenuhi kepala mendadak muncul begitu saja kala langkahnya menginjak ruang tamu untuk pertama kalinya.
“Main,” jawabnya singkat. Kenandra dengan setelan pakaian rumahan terlihat serius dengan sebuah laptop yang ada di atas pangkuannya. Celana krem selutut juga kaos hitam lengan pendek menjadi pilihannya malam ini. Tak ada setelan rapi serba hitam seperti pagi tadi.
"Main sama siapa? Hanina?"
“Kok enggak WhatsApp aku kalau pergi hari ini?” tanyanya lagi. Kali ini ia menatap Gistara sepenuhnya. Tidak ada kalimat menghakimi yang terdengar.
“Kamu aja pergi enggak pamit kok sama aku. Buru-buru banget lagi. Ke mana sih tadi?” Sembari berjalan mendekat kepada Kenandra, ia bertanya demikian.
“Ada urusan sebentar.”
“Harus sepagi itu ya? Darurat emangnya?”
“Enggak juga.”
“Ya terus dari mana sih?”
“Hari ini ulang tahun Aruna. Dan udah jadi kebiasaan aku tiap tahun buat mengunjungi dia sebelum matahari naik.”
Oh...jadi karena itu.
“Terus setelah itu aku juga ada urusan lain sama Sabian. Kasus kematian Aruna sudah mulai menemukan titik terang.”
“Oh ya? Terus gimana?” ujarnya sedikit tertarik. Biar bagaimanapun ada rasa iba yang diam-diam Gistara simpan untuk mendiang kekasih suaminya. Sebab, kematiannya yang tidak wajar dan juga belum mendapatkan keadilan yang setimpal.
“Kami dapat bukti dari dari rekaman kamera dashboard mobil milik pengendara lain yang melintas pas waktu kejadian.”
“Sudah ketemu dong siapa pelakunya?”
Anggukan pelan itu lantas diberikan Kenandra kepada dirinya. “Siapa, Mas?”
“Bersih-bersih dulu sana. Habis dari luar banyak kuman yang nempel tuh di baju kamu!” ujarnya seolah ia tengah menghindari pertanyaan barusan yang diucapkan oleh Gistara.
“Jawab dulu lah pertanyaan aku tadi.”
“Mandi dulu, Gistara.”
“Nanti janji ya kasih tahu aku!” ancamnya lalu beranjak pergi menaiki lantai dua.
Sedangkan Kenandra, lelaki itu hanya termenung. Ditatapnya punggung istrinya yang semakin lama semakin menjauh, lalu hilang.
Hingga kemudian suara hembusan napas berat terdengar samar-samar membelah malam. Tatapannya beralih pada langit-langit ruangan. Pandangannya mengabur. Seperti ada banyak hal yang diam-diam mengganggunya sedari tadi. Namun satu hal, ia tak mau kehilangan lagi untuk yang kedua kalinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DESIDERIUM (SELESAI)
RomanceGistara Prameswari mengira bahwa mencintai pria yang belum selesai dengan masa lalunya akan semudah seperti yang ia pikirkan. Namun, nyatanya tak sesimpel itu kala bayang-bayang masa lalu selalu datang menghantui pernikahan mereka. "Apa kamu nggak...