Ringisan kecil keluar dari mulut Aska saat badannya menghantam aspal yang keras. Begitu juga dengan gadis yang baru saja dia selamatkan. Gadis itu menahan sakit sambil beringsut duduk dengan posisi memunggungi Aska. Gadis itu membungkuk, menutup wajahnya dan mulai terisak tangis.
Aska membuang napas kasar. Dia beranjak dan berjongkok di depan gadis itu, menatapnya lamat-lamat. Diperhatikan penampilan gadis itu dari atas sampai bawah. Rambutnya panjang tapi berantakan -seperti habis digunting tapi tidak beraturan. Seragam SMA-nya terlihat kotor seperti terkena tumpahan kopi. Di lengannya terdapat beberapa luka seperti cakaran. Penampilan gadis itu kacau total.
"Hei." Aska memegang kedua bahu gadis itu. "Kenapa lo lakuin itu?" tanyanya lembut, mencoba untuk tidak membuat gadis itu semakin tertekan. Namun di luar dugaan tangis gadis itu malah semakin kencang. "Jangan nangis. Kalau lo gak mau cerita, gak masalah. Tapi tolong tenangin diri lo dulu."
Perlahan akhirnya gadis itu menurunkan tangannya, menunjukkan wajahnya yang basah karena air mata. Mata cokelat terang yang berair itu terasa tidak asing di ingatan Aska. Seperti kenal, tetapi tidak ingat siapa dan di mana. Beberapa detik dia tertegun memandang gadis tersebut.
"Kenapa kamu nyelamatin aku?" Gadis itu akhirnya bersuara lagi. "Kalau kamu cuma mau menghakimi aku seperti yang lain, lebih baik gak usah. Aku udah terlalu muak mendengar itu semua. Aku juga udah muak sama hidup aku sendiri. Aku cuma mau mati!"
Gadis itu kembali beranjak hendak menaiki pembatas jembatan lagi, tetapi dengan gesit Aska menahan tangannya.
"Kenapa buru-buru, kita masih muda."
"Lepas!"
"Lo serius mau mati?"
Tidak ada jawaban yang keluar dari bibir gadis itu. Ia hanya bergeming menatap dengan sorot hampa.
"Lo bukan mau mati, lo cuma lelah."
Aska beralih memegang kedua bahu gadis itu, menatap matanya dalam. Dia sangat mengerti, pasti gadis ini sedang menghadapi masalah besar sehingga berani berpikir bahwa mati lebih baik daripada menghadapi. Mungkin mereka berdua memang tidak saling mengenal, tetapi Aska tetap peduli kepadanya.
"Gue gak tahu apa masalah lo, tapi tolong jangan nyerah kayak gini. Gue yakin lo masih bisa bangkit kok. Lo gak harus suka sama kehidupan lo yang sekarang. Cukup percaya semua akan baik-baik aja. Bertahan, bertahan untuk diri lo sendiri. Lo gak boleh berakhir menyedihkan kayak gini, lo berhak bahagia."
Mendengar ucapan Aska, gadis itu malah tertawa miris.
"Bahagia? Gimana mau bahagia kalau setiap hari yang aku dapetin cuma kesakitan dan kesengsaraan?" tanya gadis itu terdengar marah sekaligus putus asa.
"Mungkin untuk sekarang semua masih menyakitkan buat lo. Tapi seiring berjalannya waktu, mungkin semua bisa berangsur membaik. Siapa tahu. sesuatu yang baik udah Tuhan siapin buat lo di masa depan nanti? Tapi kalau lo mau dapetin 'sesuatu' itu, lo harus bertahan." Aska memberi senyuman teduh yang membuat gadis di depannya tertegun.
Tidak banyak yang bisa Aska lakukan. Dia sudah berusaha semampunya untuk mencegah gadis itu mengakhiri hidup. Entah ucapannya bisa mengubah pikiran gadis itu atau hanya dianggap omong kosong belaka, Aska tidak peduli. Yang pasti Aska tidak akan membiarkan ada orang yang terluka lagi karena kecerobohannya.
Aska memandang gadis itu lama, menunggu reaksinya. Namun tidak ada respon berarti. Gadis itu hanya menatap hampa dengan tangis yang sudah reda. Sepertinya ucapan Aska berhasil membuat gadis itu berubah pikiran. Aska harap bukan sementara semata.
Tiba-tiba saja tetes demi tetes air turun membasahi bumi. Semakin lama semakin deras. Aska segera melepas jaket yang dia pakai, untuk dipakai pada badan gadis itu. Lantas Aska menarik tangan gadis itu, membawanya untuk memasuki mobil.
"Aku mau keluar," kata gadis itu saat sudah ada di dalam mobil Aska. Ia hendak membuka pintu, tetapi Aska dengan cepat mencegahnya.
"Di luar hujan." Aska menggeleng. "Sekarang lo bilang aja alamat rumah lo di mana, biar gue anter. Jangan sungkan, gak ngerepotin kok. Jadi jangan nolak, ya." Aska tersenyum, mencoba untuk meyakinkan gadis itu agar percaya kepada dirinya.
Bukan apa-apa, Aska hanya takut jika gadis itu pulang sendirian, di tengah perjalanan dia berubah pikiran dan kembali melakukan hal-hal nekat untuk mengakhiri hidup.
Gadis itu menunduk ragu. Merasa cemas dan bimbang. Jika ia keluar maka ia harus hujan-hujanan, tetapi jika ia menerima tawaran orang asing di sampingnya -ia merasa agak takut. Bagaimana pun juga mereka belum saling mengenal.
"Jadi, alamat rumah lo di mana?"
•••
Sudah tiga hari Erin koma di rumah sakit. Setiap hari pula Aska selalu menjenguknya saat berangkat dan pulang sekolah. Ia sama sekali tak mau ketinggalan dengan perkembangan kesehatan adiknya itu.
Seperti saat ini contohnya. Sepulang sekolah Aska langsung pergi ke rumah sakit, bahkan tak peduli dengan latihan basket yang biasanya diadakan di hari ini. Di sekolah, Aska juga sudah tidak pernah lagi menghabiskan jam istirahat dengan bermain basket seperti sebelumnya. Pikirannya tidak pernah fokus. Itu sebabnya, Aska memilih untuk beristirahat dari hobi yang selama ini ia cintai.
Tak sengaja Aska berpapasan dengan seorang gadis dengan seragam SMA yang berdiri di depan ruangan Erin. Tampaknya ia adalah teman Erin di sekolah dan datang untuk menjenguk.
"Lo temen Erin?" tanya Aska tanpa basa-basi.
Gadis dengan seragam SMA itu mengangguk.
"Lo sendiri siapa? Gue baru pertama kali liat lo. Temen Erin juga? Atau pacar?" Gadis dengan rambut panjang kecokelatan itu balik mengintograsi Aska dengan banyak pertanyaan.
Aska menggeleng pelan. "Gue kak-" Tiba-tiba saja Aska teringat dengan ucapan Erin beberapa waktu lalu, bahwa dia tidak mau ada satu pun temannya yang tahu bahwa dia memiliki seorang kakak angkat. Karena hal itu, Aska mengurungkan niatnya untuk mengatakan bahwa dia adalah kakaknya Erin.
"Lo siapa?"
"Iya, gue temen Erin juga," bohong Aska sambil tersenyum pahit.
Raut wajah gadis itu berubah lebih ramah dari sebelumnya. Ia lantas tersenyum manis kepada Aska, bahkan sampai mengulurkan tangan untuk mengajak berkenalan.
"Hai, gue Sandra. Gue temen sebangku Erin. Kita berdua deket banget. Gue gak tau ternyata Erin punya temen cowok di SMA Cakrawala," katanya dengan semangat. Ia dapat mengetahui tempat Aska bersekolah dari seragam dan atribut yang cowok itu kenakan.
"Gue Askara, panggil aja Aska." Aska membalas uluran tangan Sandra dengan senyuman tipis.
Cukup lama mereka berdua berbincang dan saling memperkenalkan diri. Aska sengaja banyak bertanya kepada Sandra mengenai Erin untuk mengetahui lebih dalam tentang bagaimana adiknya di sekolah.
"Emang bener, ya, Erin suka ngebully di sekolahnya?" Akhirnya Aska menanyakan hal yang beberapa hari ini mengganggu pikirannya. Tiba-tiba saja Sandra yang sejak tadi cerewet, berubah diam. Suasana mendadak hening. "Kenapa diem? Bener, ya?"
Diamnya Sandra sudah cukup menjawab pertanyaan Aska. Cowok itu menghela napas berat. Padahal dia berharap bahwa adiknya tidak benar-benar melakukan hal seburuk itu.
"Tapi Erin gak ngebully banyak orang, kok. Cuma beberapa orang, yang emang dia gak suka," jawab Sandra berusaha untuk tidak menjelek-jelekkan nama teman baiknya di depan Aska.
"Siapa aja?"
Awalnya Sandra merasa ragu, tetapi pada akhirnya gadis itu menunjukkan sebuah foto kepada Aska dari galeri handphone-nya. Foto kelas. Gadis itu kemudian menunjuk beberapa orang yang ada di foto tersebut.
"Ini namanya Liana, dia udah pindah dari SMA Cemerlang gara-gara Erin." Sandra menunjuk satu orang dari foto tersebut. Kemudian jarinya beralih untuk menunjuk seseorang lagi. "Yang ini yang paling parah di antara yang lain. Erin gak pernah lewat sehari pun buat ngebully dia. Sekarang, udah tiga hari dia gak masuk sekolah."
Aska memperhatikan gadis yang Sandra tunjuk di foto itu dengan baik-baik. Wajahnya terasa sangat familier. Beberapa detik dia mencoba untuk mengingat-ingat, hingga akhirnya dia sadar bahwa gadis itu adalah gadis yang sama dengan gadis yang sempat akan melompat dari jembatan tiga hari yang lalu.
Jadi masalah yang bikin dia hampir bunuh diri itu ... Masalah perundungan yang selama ini Erin lakuin?
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
Sampai Jumpa Lagi [Selesai]
Teen FictionAska harus pindah ke SMA Cemerlang setelah adiknya -Erin- menjadi korban tabrak lari dan berakhir koma di rumah sakit. Dia ditugaskan sang Papa, untuk mengawasi seseorang di sekolah itu. Orang yang sama dengan orang yang pernah dia selamatkan. Haru...