"Di sini apa ada yang tahu saluran pencernaan manusia terdiri dari apa saja?" Guru Biologi itu melempar pertanyaan sebelum memulai kelas. Sebuah ciri khas dari Bu Ningsih setiap mengajar.
Tidak ada yang mengangkat tangan untuk menjawab. Karena itu Bu Ningsih memilih untuk menunjuk seseorang, "Alara, coba jawab," katanya, membuat Alara yang sejak tadi melamun langsung mengerjap.
Alara berkedip bingung. Gadis itu bahkan tidak tahu topik apa yang sedang dibahas di kelas Biologi hari ini. Pikiran Alara benar-benar blank, semenjak bertemu kembali dengan Erin setelah sekian lama.
"Kamu tahu gak?" tanya Bu Ningsih, yang hanya Alara balas dengan gelengan pelan.
Beberapa orang menertawakan Alara.
Erin di bangkunya tersenyum miring. Gadis itu kemudian mengangkat tangan dengan percaya diri, mengambil alih atensi seluruh orang di kelas.
"Iya, Erin, kamu tahu?"
"Saya tahu," jawab Erin sambil tersenyum, "saluran pencernaan terdiri dari mulut, kerongkongan, lambung, usus halus, usus besar, rektum, dan anus "
"Benar." Bu Ningsih tersenyum bangga. Namun ia tidak puas sampai di situ. Guru Biologi kembali melemparkan sebuah pertanyaan, "Apa kamu bisa menyebutkan salah satu gangguan atau kelainan pada sistem pencernaan, beserta penjelasan singkatnya?"
"Tentu," Erin selalu menjawab dengan percaya diri dan penuh keyakinan, "salah satu gangguan sistem pencernaan yang sering kita temui adalah maag. Gangguan ini disebabkan karena meningkatnya kadar asam lambung yang dipicu oleh pola makan yang tidak teratur, pikiran tegang, dan sebagainya."
"Betul."
Semua orang yang ada di sana berdecak kagum sekaligus tidak habis pikir dengan si Peringkat Kedua. Baru masuk setelah sekian lama, dan langsung menjawab kuis dadakan. Bahkan saking kagumnya, orang-orang di kelas memberikan tepuk tangan untuk Erin, termasuk Bu Ningsih.
"Wah, saya gak nyangka. Padahal kamu baru saja masuk setelah lama ijin karena sakit, tapi kamu sudah bisa menjawab beberapa pertanyaan mengenai bab yang akan kita bahas hari ini," puji Bu Ningsih sambil menggeleng takjub. "Semangat belajar kamu benar-benar patut diapresiasi."
"Terimakasih, Bu."
Bagaimana pun, semua orang tahu betapa ambis-nya Erina Adhikari.
Setelah bangun dari koma, Erin tidak pernah melewatkan belajar supaya tidak ketinggalan pelajaran. Bahkan tadi malam, Erin rela begadang demi mempelajari materi yang akan dibahas hari ini. Gadis itu tidak pernah main-main ketika menginginkan sesuatu. Ia akan berusaha sekeras mungkin hingga yang ia inginkan dapat terwujud.
Dan yang Erin inginkan saat ini adalah peringat pertama milik Alara.
Erin melirik ke bangku Alara. Gadis itu tersenyum sinis.
•••
Jam istirahat kembali terlihat menakutkan bagi Alara. Gadis itu buru-buru pergi keluar dari kelas ketika bel berbunyi —sengaja ingin menghindari Erin dan teman-temannya. Pikiran Alara sekarang sedang kacau. Dia berjalan di koridor dengan gelisah dan tak tentu arah.
Alara pikir ia sudah kuat. Nyatanya trauma yang dia miliki masih belum bisa dikendalikan sepenuhnya. Apalagi ketika ia kembali melihat orang yang paling banyak menyakitinya selama ini, ada tepat di depan matanya lagi. Alara merasa seperti akan kehilangan akal sehatnya.
Dengan perasaan yang tidak karuan, tak sengaja gadis itu bertabrakan dengan seseorang yang berjalan berlawanan arah dengannya. Alara tersentak kaget. Ia mendongak, dan menghela napas lega ketika melihat ternyata orang yang sekarang ada di hadapannya adalah Aska.
Aska memegang kedua pundak Alara, dan bertanya dengan bingung, "Lo baik-baik aja?"
Melihat keadaan Alara saat ini, Aska yakin gadis itu sedang tidak baik-baik saja.
Aska terdiam sejenak. Ia tahu betul apa yang sudah membuat Alara ketakutan dan gelisah. Hanya ada satu alasan, dan itu adalah karena adiknya —Erin— yang telah kembali ke sekolah. Alara pasti terguncang karena kehadiran Erin yang mendadak.
"Denger, lo harus selalu ada di sisi gue," kata Aska sambil memegang tangan Alara. Menatap ke dalam iris cokelat terang itu. Karena gue takut, Erin bakal melakukan hal buruk lagi ke lo.
Alara mengangguk sambil menahan tangis. Mempererat genggaman tangan Aska. Setidaknya ia bisa merasa sedikit tentang sekarang, karena tak lagi sendirian seperti dulu.
Dari kejauhan Erin memperhatikan sambil melipat kedua tangannya. Beberapa saat sebelum satu sudut bibirnya terangkat.
•••
Rooftop sekolah menjadi tempat Alara dan Aska berada. Mereka duduk bersandar ke tembok pembatas. Sejak tadi Alara hanya diam sambil memeluk lutut. Melamun dengan sorot hampa. Membuat Aska yang duduk di sampingnya, menghela napas.
Tiba-tiba saja Aska memegang kepala Alara, dan mendorongnya dengan lembut untuk bersandar di bahunya. Aska menoleh ke arah Alara sambil tersenyum tipis. "Kalau mau nangis, nangis aja, jangan ditahan."
Beberapa detik setelah itu, suara isak tangis terdengar. Akhirnya pertahanan yang dibangun itu runtuh juga. Gadis itu menangis sesenggukan. Ternyata Alara tak sekuat yang ia kira.
Alara akui dirinya lemah. Namun sungguh, rasa takut dan gelisah akibat trauma membuatnya tidak bisa mengendalikan diri. Bahkan pura-pura kuat saja terasa sukar. Semua orang ingin terbebas dari rasa takut dan trauma, tetapi tak semua orang mampu.
Tanpa Alara ketahui, satu tetes air mata jatuh dari kelopak mata Aska. Laki-laki itu memalingkan wajah, tak sanggup menatap Alara, dan tak mau ketahuan menangis oleh orang yang entah sejak kapan sudah mulai ia cintai itu.
Kedua bahu Aska rasanya berat. Seperti ada beban tersendiri yang membebani pundaknya. Rasa bersalah, sekaligus kebimbangan yang membuat hatinya diaduk oleh dilema.
Seharusnya sejak awal Aska sadar bahwa ia tidak boleh mencintai Alara.
Karena saat cinta itu tumbuh, maka cinta itu akan bertabrakan dengan janji yang mengikat hidupnya.
Kedua mata Aska dipejamkan. Angin berembus menerpa kulit. Sesaat laki-laki itu teringat dengan memori bertahun-tahun lalu. Telinganya berdengung. Suara Rendra kembali terngiang. Membuat Aska teringat dengan janji yang pernah ia terima.
"Kamu harus jaga dan lindungi Erin seumur hidup kamu."
Aska menghela napas berat.
"Kamu harus selalu ada di pihak dia dan membela dia."
Kali ini Aska membuka mata. Pandangannya beralih kepada Alara yang masih menangis seperti sebelumnya. Tangan Aska tiba-tiba saja bergerak menyentuh kepala gadis itu, dan mulai mengelusnya dengan perlahan.
"Kamu ada untuk Erin. Ingat itu."
Senyum terlihat di wajah Aska. "Ra, Lo harus bisa melawan rasa takut lo."
Ucapan Aska itu terdengar seperti bisikan menyejukkan di pagi hari bagi Alara. Gadis itu menghentikan tangis, dan mendongak menatap ke wajah Aska.
"Hadapi rasa takut lo," kata Aska lagi dengan senyuman yang sama, "dan ... lawan ...," Senyuman Aska memudar. Laki-laki itu mengalihkan pandangannya ke arah lain. Sorot matanya berubah sendu, "lawan ... orang-orang yang jahat sama lo."
Aska menunduk. Mencoba untuk menguatkan hati dan membuatkan tekad.
"Kalau lo takut," Laki-laki itu menoleh ke arah Alara, menggenggam tangan gadis itu dengan erat, "ingat lo gak pernah sendiri."
Dua remaja itu saling menatap. Alara memandang iris cokelat Aska yang memancarkan ketulusan. Perlahan gadis itu terlihat kembali berkaca-kaca. Kali ini bukan karena ketakutan, tetapi karena ia mendapatkan rasa aman.
"Aska, kamu tahu? Apa yang kamu ucapkan ke aku tadi, adalah kalimat terbaik yang pernah seseorang ucapkan untuk aku."
Aska tersenyum dengan mata yang mulai berair.
Karena Aska telah membuat pilihan.
Aska telah menentukan di pihak mana ia akan berdiri.
Aska telah memutuskan untuk mengkhianati salah satu bagian dari janji yang pernah ia terima.
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
Sampai Jumpa Lagi [Selesai]
Teen FictionAska harus pindah ke SMA Cemerlang setelah adiknya -Erin- menjadi korban tabrak lari dan berakhir koma di rumah sakit. Dia ditugaskan sang Papa, untuk mengawasi seseorang di sekolah itu. Orang yang sama dengan orang yang pernah dia selamatkan. Haru...