Pukul sepuluh malam, Alara masih sibuk dengan buku-buku di meja belajar. Matanya terasa berat oleh rasa kantuk. Tak heran jika beberapa kali gadis itu menguap. Namun apa boleh buat, beberapa buku catatannya rusak hingga ia harus menyalin kembali catatan materi ke buku yang baru. Ini semua karena ulah tiga teman Erin.
Tangan kanan Alara yang dipakai untuk menulis sudah terasa sangat pegal dan sakit. Ingin dia paksakan untuk melanjutkan catatan yang belum rampung, tetapi sayangnya dia sudah tak tahan lagi. Akhirnya Alara memutuskan untuk berhenti menulis dan pergi tidur.
Tak lama kemudian, Silvi datang memasuki kamar Alara sambil membawa segelas susu hangat. Alara yang awalnya sedang merebahkan diri di kasur, kembali beringsut duduk saat melihat kehadiran ibunya. Dia tersenyum lebar menyambut minuman kesukaannya yang Silvi bawa.
"Makasih, Mah," ujarnya sebelum meneguk susu itu sampai habis.
"Gimana sekolah kamu?"
Mendengar pertanyaan itu, Alara mendadak terdiam. Pikirannya kembali ke ingatan di saat dia dirundung dan diperlakukan buruk di tempat yang disebut sebagai sekolah. Keringat mulai keluar dari kening Alara, menunjukkan betapa gugup dan ketakutannya gadis itu sekarang.
Silvi memandang putrinya bingung. "Kamu kenapa? Kok mendadak pucat gitu?" Tangan Silvi tergerak untuk mengelus rambut Alara dengan lembut, sembari kembali melontarkan pertanyaan, "Kamu sakit?"
"Nggak." Alara menjawab sambil menggeleng pelan. Tapi bukan berarti aku baik-baik aja, Mah, lanjutnya dalam hati.
"Maaf ya, semenjak Mama kerja Mama jadi jarang ngobrol berdua sama kamu. Mama kurang perhatian sama kamu. Karena Mama sibuk kerja, ngumpulin uang untuk biaya pendidikan kamu." Silvi merasa bersalah. Setelah bercerai dengan mantan suaminya, wanita itu terpaksa menjadi tulang punggung keluarga. Bekerja di sebuah pabrik tekstil dengan gaji yang tak seberapa.
Untungnya ia memiliki tabungan untuk biaya pendidikan Alara sehingga beban di punggungnya tidak terlalu berat. Dengan tabungan itu, Silvi masih mampu membiayai sekolah Alara hingga lulus.
Alara menunduk dalam dengan perasaan gelisah yang terus memenuhi hatinya. Sejak lama dia ingin memberitahukan tentang perlakuan yang dia dapatkan di sekolah kepada ibunya, tetapi selalu saja tertahan dan ada yang menghalangi.
Perasaan takut, cemas, gelisah, bingung, bercampur aduk memenuhi hati Alara. Membuat gadis itu merasa tidak nyaman. Ia juga tidak ingin membuat Silvi sedih dengan mengatakan mengenai perlakuan buruk yang ia terima selama bersekolah di SMA Cemerlang.
"Mama, aku mau pindah sekolah," ujar Alara akhirnya. Dia tidak langsung mengatakan segalanya. Gadis itu kembali berpikir. Memilih untuk tidak memberi tahu mengenai masalahnya di sekolah. Alara takut Silvi akan merasa cemas dan khawatir. Sudah terlalu banyak beban yang ibunya tanggung selama ini. Alara tak ingin menambah-nambah.
"Kenapa?" tanya Silvi kaget. "Sekolah kamu SMA favorit loh di kota kita. Kamu emangnya gak seneng sekolah di sana?"
Alara menggeleng pelan. "Alara mau sekolah di SMA Negeri, atau swasta yang biasa-biasa aja. Jangan yang favorit dan elit kaya Cemerlang," ungkapnya dengan jujur. "Lagian biaya sekolah di Cemerlang 'kan mahal. Lebih baik aku pindah aja ke sekolah swasta yang biayanya gak terlalu mahal. Sekolah di mana pun sama aja kok."
"Gak bisa gitu," tolak Silvi langsung. Wanita itu menatap Alara dengan sorot tegas. "Cemerlang memang mahal, tapi itu sepadan dengan fasilitas dan pembelajaran yang kamu dapat. Terlebih Cemerlang punya nama dan citra yang baik. Mama mau kamu bersekolah di sekolah terbaik. Urusan biaya, itu urusan Mama. Mama masih sanggup, kok. Mama punya banyak tabungan. Kamu gak usah mikirin soal itu."
"Tapi, di sana aku—"
"Udah, mending kamu tidur sekarang." Ucapan Alara dipotong oleh Silvi. Wanita itu menatap ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat. "Besok kamu sekolah, jangan terlambat."
Alara tidak melawan saat Silvi menyuruhnya untuk berbaring dan menutup tubuhnya dengan selimut tebal. Silvi mematikan lampu kamar, dan mengecup kening Alara sesaat, sebelum akhirnya berjalan keluar dari sana.
Alara hanya membuang napas lelah. Kenapa semesta seolah mencegah dirinya untuk pergi dari sekolah yang terasa seperti neraka itu?
***
Perlajaran hari ini berlangsung seperti biasa. Alara hanya duduk memperhatikan penjelasan gurunya sambil sesekali mencatat poin-poin penting. Gadis itu tak mau membuat catatan panjang karena takut bukunya akan rusak lagi. Setelah dua jam pelajaran terlewati, akhirnya waktu istirahat yang ditunggu tunggu banyak orang tiba.
Setelah menyimpan buku dan alat tulisnya ke tas, bergegas Alara beranjak dari kursinya untuk pergi keluar. Sebisa mungkin gadis itu ingin menghindari Sandra dan teman-temannya. Namun saat Alara baru sampai di ambang pintu, tiba-tiba saja suara Bu Aini terdengar memanggil namanya.
Dengan berat hati gadis itu berbalik untuk menghampiri meja guru sambil menunjukkan senyuman ramah. "Ada apa, Bu?"
Guru Matematika itu merapikan buku paket yang ada di mejanya kemudian menjadikannya satu tumpukan tinggi. Diambilnya tumpukan buku tersebut, kemudian diberikan kepada Alara.
"Tolong simpan ke perpustakaan."
Alara mengangguk dan berjalan menuju perpustakaan. Letak perpustakaan cukup jauh dari kelasnya. Sesekali Alara mengeluh karena berat beban tumpukan buku paket yang ia bawa. Sebisa mungkin dia juga berhati-hati membawanya, karena takut menabrak orang lain.
Namun sebaik apa pun Alara melakukannya, tetap saja semua tak berjalan sesuai yang dia mau. Tiba tiba saja seseorang mendorong punggungnya dari belakang dengan keras, hingga ia jatuh tersungkur bersama buku paket Matematika yang jatuh berceceran di mana-mana.
Beberapa orang yang melihat adegan jatuh Alara yang memalukan itu, menertawai gadis itu secara terang-terangan. Alara meringis sambil mencoba untuk bersikap tidak peduli dan kembali mengumpulkan buku-buku paket yang ada di lantai.
"Haha, mampus!" sentak Sandra yang merupakan pelaku pendorongan Alara itu.
Sudah ia duga, Sandra pasti akan kembali berulah. Entahlah, sepertinya Sandra bisa langsung mati di tempat jika tidak menggangu Alara sehari saja.
Lulu dan Invia yang baru datang dari kantin berhenti di hadapan Alara. Mereka melempar sampah bekas makanan dan minuman mereka kepada gadis itu. Lulu berujar menyebalkan, "Buanglah sampah kepada temannya."
Sedangkan Lulu hanya meringis jijik melihat seragam Alara yang kotor terkena sampah bekas jus mangga miliknya.
Kemudian mereka bertiga pergi meninggalkan Alara yang masih mengumpulkan buku di lantai. Setelah selesai, gadis itu kembali berdiri dan membawa buku-bukunya. Namun baru berjalan satu langkah, seseorang memanggil dirinya.
"Woy!" bentak seorang siswi yang ada di depan kelas. "Buang tuh sampah-sampah elo, main pergi aja!" omelnya sambil menunjuk sampah-sampah Lulu dan Invia yang ada di lantai. Baru Alara membuka mulut hendak berbicara, siswi itu lebih dahulu memotong, "Pokoknya lo yang beresin!"
"Biar gue aja." Tiba-tiba terdengar suara seorang laki-laki menyahut dari belakang Alara. Sontak siswi tersebut langsung menoleh ke sumber suara, begitu juga Alara yang berbalik untuk melihat ada siapa di sana.
Seorang siswa berpenampilan rapi membungkuk untuk memungut sampah-sampah yang ada di lantai, lalu membuangnya ke tong sampah yang letaknya tak jauh dari sana. Lantas setelahnya, cowok itu berjalan dan berhenti di hadapan Alara. Mata kedua remaja itu saling menumbuk. Terukir senyuman manis dari wajah cowok itu yang sukses membuat Alara tertegun di tempatnya.
"Hai. Kita ketemu lagi."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Sampai Jumpa Lagi [Selesai]
Genç KurguAska harus pindah ke SMA Cemerlang setelah adiknya -Erin- menjadi korban tabrak lari dan berakhir koma di rumah sakit. Dia ditugaskan sang Papa, untuk mengawasi seseorang di sekolah itu. Orang yang sama dengan orang yang pernah dia selamatkan. Haru...