39: berantakan!

30 14 21
                                    

"Saya tidak menyangka siswi berprestasi seperti kamu melakukan tindak kekerasan sekolah seperti ini."

Sejak tadi ruang BK mendadak ramai. Banyak siswa-siswi yang sengaja mengintip dan menguping dari depan ruangan yang terbuka itu. Bising. Bisik-bisik orang-orang meramaikan suasana. Menambah bumbu drama yang sedang berlangsung.

Kepala Alara rasanya pusing. Gadis itu tidak henti-hentinya menangis. Seluruh badannya gemetar. Entah sudah berapa kali dirinya membela diri, tetapi satu kata pun yang keluar dari mulutnya tak pernah dianggap berarti.

"Kamu sadar apa yang sudah kamu lakukan? Kamu menganiaya seorang siswi, bahkan sampai hampir membunuhnya!" bentak Bu Lusi sambil memukul meja dengan keras. Gerombolan orang yang ada di depan ruang BK sampai terperanjat karenanya. "Tindakan kamu itu kriminal."

"Tapi saya udah bilang, saya gak melakukan apa-apa!" balas Alara dengan nada tinggi —kehabisan kesabaran. Keadaan psikisnya kacau total. Sejak tadi ia harus mendengar kalimat-kalimat berisi tuduhan, tanpa pernah sekalipun didengar. "Erin itu nyakitin dirinya sendiri, dia sengaja fitnah saya!"

"Kamu punya bukti kalau kamu bukan pelakunya?"

"Memangnya ibu punya bukti kalau saya pelakunya?"

Bu Lusi tersenyum sambil menggeleng. "Ada banyak saksi mata yang melihat kamu sedang mencekik Erin, kamu pikir itu bukan bukti?"

"Tapi apa yang semua orang lihat pagi tadi itu keliru. Bukan saya yang mencekik Erin, tapi dia sendiri yang menarik tangan saya ke lehernya, seolah-olah saya nyekik dia. Dia teriak, semua orang lihat. Dia sengaja, ini semua rencana dia."

Tawa Bu Lusi terdengar setelah Alara selesai mengatakan pembelaan. "Pernyataan kamu itu terdengar gak masuk akal, Alara."

"Tapi saya jujur—"

"Dia bohong!" Suara teriakan seorang perempuan itu terdengar, mengalihkan seluruh atensi. Terlihat Erin yang sudah diobati berjalan memasuki ruangan dengan dibantu Aska di sampingnya. Pandangan Aska dan Alara bertemu, tetapi dengan cepat Alara putuskan.

Erin menangis se-menyedihkan mungkin. "Dia melakukan ini semua ke saya. Sebenernya sejak lama, dia sering merundung saya karena merasa tersaingi —dia takut saya merebut posisi peringkat pertama dia—"

"Pembohong!" potong Alara sambil berdiri dari tempatnya. "Gak usah memutarbalikkan fakta, Er! Selama ini kamu yang merundung aku!" Alara berteriak frustrasi.

Gadis itu menatap orang-orang yang berkumpul di depan ruang BK satu per satu. "Selama ini kalian semua tahu kalau aku sering dirundung, tapi kalian pura-pura buta. Kalian semua gak mau ikut campur, karena takut ikut keseret," Alara mencoba untuk menghapus air matanya, "kalian semua tahu, tapi kalian diam, hanya karena aku bukan siapa-siapa."

Kali ini Alara berbalik menatap Bu Lusi. "Bahkan saat aku berusaha untuk minta tolong sama pihak sekolah ..., gak ada perbedaan apapun. Itu juga karena aku bukan siapa-siapa."

Beberapa orang memandang Alara iba.

"Sekarang saat Erin yang terluka, satu sekolah heboh. Kenapa? Apa karena dia anak donatur yang punya kekuasaan dan nama?" tanya Alara dengan sedikit berteriak, "kalau misalnya keadaan dibalik dan aku yang terlihat sebagai korban, apa mungkin bakal seramai ini? Apa mungkin Bu Lusi marahin Erin seperti yang ibu lakukan ke saya?"

"Gak usah playing victim!" bentak Erin di tempatnya, "Lo itu udah ngelakuin tindak kekerasan sekolah, akuin aja. Gak usah ngedrama jadi orang susah yang gak berdaya. Jijik tahu gak?"

Tiba-tiba saja perhatian teralihkan ketika sepasang suami istri memasuki ruangan. Seketika itu juga, Erin langsung menghamburkan pelukan kepada mereka dengan tangis yang tumpah.

"Sayang, kamu gak papa, 'kan?" tanya Rani dengan sangat khawatir. Wanita itu memandang setiap luka yang ada di tubuh putrinya dengan cemas, "siapa yang udah lakuin ini ke kamu?!"

Erin yang tersedu-sedu menunjuk ke arah Alara. "Mah, Pah, aku takut sama dia. Dia udah nyakitin aku."

Rendra menatap Alara dengan tajam. Ternyata pada akhirnya, gadis yang Aska katakan tidak punya keberanian apa-apa itu, dengan berani menyakiti putrinya. Rendra tidak akan tinggal diam.

"Bagaimana mungkin sesuatu seperti ini terjadi di sekolah? Putri saya dianiaya di sini!" Rendra berkata dengan nada tinggi, jelas menunjukkan emosi marah. Bu Lusi di tempatnya merasa khawatir, "Saya tidak terima dengan ini! Saya akan bawa kasus ini ke pengadilan. Bagaimana pun juga, putri saya menderita fisik sekaligus psikis karena kejadian ini!"

"Tenang, Pak, tenang dulu, kami bisa jelaskan!" Bu Lusi mencoba untuk menenangkan. Jika gara-gara kejadian ini Rendra berhenti menjadi donatur sekolah mereka, maka sekolah mereka akan kehilangan banyak uang. "Kita bisa bicarakan baik-baik."

"Pah, aku cuma mau dia dihukum," kata Erin dengan tangisnya yang sudah lumayan reda. Dapat Alara lihat sekilas senyum licik gadis itu. "Dia pantas di-DO, 'kan? Aku hampir mati gara-gara dia. Ini percobaan pembunuhan namanya."

Alara membelalak tidak percaya. "Kenapa aku harus dihukum atas sesuatu yang gak aku lakuin?!" protesnya tidak terima. Sampai kapan pun, Alara tidak akan sudi mengakui sesuatu yang tak ia lakukan. "Ini gak adil!"

"Beraninya kamu!" Rani melangkah maju sambil melayangkan tangannya —hendak menampar pipi Alara. Gadis itu segera memejamkan mata karena takut. Namun setelah beberapa detik tidak terjadi apapun. Perlahan Alara kembali membuka matanya.

Alara terkejut ketika melihat Aska sedang menahan tangan Rani yang hampir saja akan mengenai wajahnya. Aska menatap wanita yang merupakan ibu angkatnya itu dengan sorot yang sulit diartikan.

"Aska?" panggil Rani tidak habis pikir.

"Mama gak boleh melakukan kekerasan," kata Aska dengan sangat tenang. Laki-laki itu tidak mungkin berbicara dengan nada tinggi kepada wanita yang telah membesarkannya —yang mengisi peran ibu di dalam hidupnya.

Rani melepaskan tangan Aska dengan kasar. "Apa-apaan kamu?!"

Kini semua orang memandang ke arah Aska.

Laki-laki itu terdiam di tempat dengan sorot sendu. Seolah ada sesuatu yang memberatkan punggungnya. Beban yang sudah lelah ia tanggung. Segala ekspetasi, janji, dan kenyataan. Aska menghela napas berat, dan memberanikan diri untuk menatap ke arah kedua orang tuanya.

"Maaf, aku harus bilang ini," ujar Aska dengan nada sangat bersalah. Kalimat selanjutnya yang laki-laki itu katakan seolah terasa sangat berat hingga membutuhkan waktu untuk ia melanjutkan ucapannya, "tapi ... di sini, Erin yang salah, bukan Alara."

Pernyataan itu membuat semua orang yang ada di sana terkejut.

Jika sejak tadi Alara membela diri dan mengatakan Erin yang bersalah, orang-orang sama sekali tak peduli. Namun, saat Aska yang mengatakan itu, orang-orang mulai mempertimbangkan pernyataan tersebut. Sebab Aska adalah kakak Erin —seseorang yang seharusnya berada di pihak gadis itu. Namun sekarang, apa yang terjadi?

"Kamu sadar apa yang kamu katakan?" tanya Rendra dengan nada yang sangat tenang, tetapi ... menakutkan.

Aska memandang Papanya dengan sorot berani. "Aku sadar, dan aku tahu itu benar."

Detik itu juga, sebuah tamparan keras mendarat di pipi Aska. Semua yang melihat itu tercekat. Aska meringis pelan ketika merasakan perih di bagian sudut bibirnya yang berdarah. Rendra tidak pernah main-main saat memberinya hukuman.

"Anak kurang ajar!"

Mata Aska sedikit berkaca-kaca.

"Maaf." Mati-matian Aska berusaha untuk terlihat tegar di hadapan Papanya. Sungguh, sesuatu yang ia pilih saat ini adalah jalan yang sulit dan berat. Butuh banyak pergolakan batin untuk Aska dapat membuat keputusan. Bahkan resiko yang akan ia dapatkan untuk itu tak enteng.

Aska tersenyum tipis.

Meski tahu apa yang akan ia hadapi di depan sana jika ia melakukan ini ... laki-laki itu tetap mantap pada keputusannya.

Karena entah kenapa hati kecilnya begitu ingin selalu melindungi Alara.

"Aku punya bukti untuk ucapan aku," kata Aska sambil mengeluarkan handphone dari saku celananya.

•••

Sampai Jumpa Lagi [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang